Jumat, 18 Maret 2011

Sarikata.com, Lomba Cerita Anak, Dongeng, 2011


LAPTOP KHUSUS UNTUK RENA
Rena tertatih-tatih menyusuri jalanan bersama dua sahabatnya, Ika dan Aisy. Tongkat putihnya ke kanan ke kiri, membantunya agar tak tersandung, atau terperosok di lubang, atau menabrak pepohonan. Seharusnya Rena menunggu Mbak Sih, pembantu di rumah sekaligus bertugas mengantar dan menjemput Rena ke sekolah. Tapi Rena suka tak sabar. Maka Rena memaksa ikut pulang bersama dua sahabatnya itu. Sebenarnya dia lebih suka jalan kaki juga. Lagi pula, jarak sekolah ke rumah kan tidak terlalu jauh. Mama saja yang terlalu khawatir, sehingga Rena dilarang ke sekolah sendirian.
“Aduh Mbak Rena, kenapa enggak menunggu saya?” Mbak Sih menghentikan motornya di sisi Rena.
“Mbak Sih lama banget, sih.” Rena duduk di belakang Mbak Sih. “Lagian, sekali-sekali pulang jalan kaki, kan, asyik Mbak. Bisa sambil ngobrol sama Ika dan Aisy.”
*****
Mata Rena menyipit, berkedip-kedip. Matanya mulai perih. Hidungnya hampir menempel di buku yang sedang dibacanya. Memang begitulah cara Rena agar dapat melihat huruf-huruf di dalam buku. Rena menderita low vision, sehingga tak bisa melihat kecuali dengan jarak sangaaat dekat. Rena juga tak bisa melihat dengan jelas benda di sekitarnya. Makanya dia sering menabrak barang-barang di rumah, apalagi jika adiknya meletakkan mainan atau sepeda sembarangan.
Rena itu gadis yang pintar, lho. Juga penuh semangat. Makanya dia tak merasa minder saat Papa dan Mama memasukkannya di sekolah umum. Papanya ingin ia terbiasa dengan dunia yang lebih luas. Papa ingin Rena tetap percaya diri dengan kondisinya di antara teman-temannya yang lain.
Rena hobi banget membaca dan menulis. Tapi matanya menjadi kendala. Untunglah, Mbak Sih bersedia membacakan buku untuknya, jika Mama capek. Soalnya, kan, Rena sering pusing kalau harus baca sendiri.
“Eh, Ka, foto kamu di FB lucu banget, sih.” Aisy terkikik geli.
“Huh, tapi aku gak suka komennya Amira. Nyebelin banget, tahu.” Ika mengomel.
“Biarin aja, kan anaknya memang suka begitu. Suka ngiri. Eh, kamu dah gabung di SalingSapa belum?” Ika bertanya pada Aisy.
“Sudah dong!” Aisy menjawab cepat. Lalu mereka ngobrol lagi. Makin seru, sebab beberapa teman Rena yang lain ikut bergabung.
Sementara itu, seperti biasa, Rena pura-pura asyik membaca. Akhir-akhir ini ia sering mendengar percakapan mereka tentang fesbuk. Mereka asyik banget! Sekarang malah ada satu lagi yang mereka bicarakan. SalingSapa. Kayaknya itu, kan, yang diciptakan oleh anak kecil, anak Indonesia malah. Betul! Rena tahu, kok, waktu disiarkan di televisi.
Rena sedih. Ia merasa sendiri, nggak nyambung sama sahabatnya. Pernah Rena mencoba membuka-buka internet. Tapi baru sebentar sudah tidak tahan. Wajahnya terasa panas, kepalanya juga pusing berat. Bahkan sebenarnya Mama dan Papa melarang Rena pakai komputer. Bukan apa-apa, tapi Mama dan Papa khawatir Rena terkena radiasi. Soalnya wajah Rena harus sangat dekat ke layar komputer agar bisa melihat. Pokoknya radiasi itu sesuatu yang berbahaya buat tubuh manusia. Begitu yang diketahui Rena.
*****
“Ren, dicari Aisy, tuh.” Mama membuka pintu kamar Rena. Rena memeluk guling, matanya terpejam. Dia dengar, kok, suara Mama. Tapi dia pura-pura tidur. Dia lagi malas bertemu temannya, apalagi Aisy dan Ika, yang akhir-akhir ini selalu ngobrol tentang fesbuk. Rena sebel. Sedih. Mama menutup pintu kamar Rena pelan. Terdengar suara Mama memberitahu Aisy kalau Rena tidur.
“Sayang ….” Tangan Mama membelai rambut Rena. Mama, sih, tahu kalau sebenarnya Rena tadi tidak tidur. “Ada apa? Berantem sama Aisy?”
“Nggak, Ma?”
“Trus kenapa nggak mau ketemu Aisy?”
Rena menceritakan kesedihannya karena obrolan teman-temannya akhir-akhir ini tentang FB, Saling Sapa, YM, Chatting …! Rena masih merasa kesal. Rena merasa tak lagi punya sahabat.
“Apa lagi tahun depan, kan, Rena naik kelas Ma. Dan di kelas besok, mulai ada pelajaran komputer.” Mata Rena basah.
Mama memeluk Rena. Mama sedih sekaligus bingung.
*****
Hari Minggu, Papa dan Mama mengajak Rena dan Rendi, adiknya, ke Jogja. Mungkin ke rumah Om Wija, adik Papa, pikir Rena. Ternyata Papa mengajak ke tempat lain. Kayaknya teman Papa kuliah dulu. Namanya Om Surya. Setelah ngobrol beberapa saat, Om Surya membawa sesuatu dari dalam kamarnya. Samar-samar Rena melihat kayak laptop Papa di rumah.
“Jadi, kamu ingin bisa fesbukan seperti temanmu?” Kata Om Surya. Lho, kok, tahu? Pasti Mama cerita ke Papa, trus Papa cerita ke temannya. Ih, jadi malu.
“Dengan laptop ini, kamu bisa, kok, main fesbuk kayak temen-temenmu.” Tangan Om Surya menekan tombol power.
“Yang bener, Om?” Rena tak percaya. Jangan-jangan Om Surya nggak tahu kalau Rena hanya bisa melihat dalam jarak sangat dekat.
“Iya, Rena. Ini komputer khusus. Komputer ini dirancang khusus untuk mereka yang sulit melihat atau tuna netra. Komputernya mempunyai program screen reader atau pembaca layar.” Om Surya rupanya seorang ahli teknologi komputer. Beliau juga sering diminta mengajarkan program komputer ini untuk guru-guru sekolah tuna netra agar mereka dapat mengajarkan juga pada muridnya.
Rena bingung tapi senang. Senang banget, sampai-sampai jantungnya seperti naik turun dengan cepat.
Lalu Om Surya mulai menerangkan macam-macam tentang komputer itu. Ternyata komputer itu dibuat agar bisa “membaca dan mendengar”. Saat Rena menekan tombol atau mengarahkan mouse maka muncul suara dari komputer itu. Jadi, Rena tahu tanpa harus melihat. Hebat ya! Papa dan Mama berkali-kali berdecak kagum. Kata Om Surya, di negara maju, banyak penyandang tuna netra, termasuk low vision seperti Rena yang sudah menggunakan komputer jenis ini. Kalau di Indonesia baru beberapa saja. Belum banyak.
“Nanti, Rena harus belajar mengetik sepuluh jari dulu. Sebab biar Rena gak usah repot melihat huruf-huruf di keyboard.” Kata Om Surya.
Dan hari itu, Rena sudah melupakan segala kesedihannya. Sebentar lagi, berarti ia juga bisa main fesbuk seperti teman-temannya.
“Tapi, saran Om sih, Rena sebaiknya membuka internet untuk menambah ilmu pengetahuan. Banyak banget ilmu yang bisa kita ambil dari internet. Sayang lho, kalau waktunya habis hanya untuk main fesbuk aja. Apalagi harga komputernya, kan, gak murah.”
*****
Tiap hari Rena belajar mengetik sepuluh jari di rumah. Mama menjadi pemandunya. Tapi, kapan ya Papa membelikan Rena laptop kayak punya Om Surya? Rena tahu kalau harganya mahal, makanya dia tidak berani mendesak Papa untuk membelikan cepat-cepat.
Rena bangun pagi dengan malas. Kemarin dia menerima rapor kenaikan kelas, dan masuk 5 besar. Tapi sampai saat ini tak ada tanda-tanda Papa akan membelikan laptop untuknya. Ngapain dulu sampai ke rumah Om Surya segala! Ngapain belajar mengetik sepuluh jari juga! Dari kemarin Rena banyak di kamar. Rena baru sedih.
Rena hendak berniat keluar kamar ketika samar-samar dia melihat sebuah bungkusan lumayan besar di atas mejanya. Ia mendekat dan merabanya. Ada pita di atasnya. Kotak itu juga agak berat saat diangkat. Rena mendekatkan wajahnya dan melihat tulisan di atas kertas yang ditempel dekat pita.
Untuk Rena
Love u
Papa-Mama-Rendi
Penasaran, tangan Rena membuka bungkusan itu. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Laptop!
“Papa … Mama …!” Rena cepat-cepat keluar kamar mencari Mama dan Papa.
“Aawww!” Rena berteriak kaget karena menabrak adiknya.
Tapi Rena malah langsung memeluk mamanya erat-erat yang sedang membawa segelas teh untuk Papa. Sementara Rendi mengusap-usap pantatnya yang kesakitan.
Laptop kini adalah sahabat Rena. Bukan untuk fesbukan saja, lho. Nasihat Om Surya selalu diingat Rena. Satu harapan Rena, dia ingin agar teman-teman yang sama sepertinya dapat menikmati teknologi ini. Kalau perlu gratis! Tapi … apa kalian tahu caranya?

4 komentar:

  1. @novi: makasih banget kalau suka. Ikut jugakah? Salam kenal, ya.

    BalasHapus
  2. cerita yg menarik. smg berhasil. terima kasih partispasinya..
    salam.

    BalasHapus
  3. @Anjari U: woaaa ... trimakasih semangatnya.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung dan menyapa