Selasa, 31 Mei 2011

Love Your Editor

copas dari Bambang Trim pada 29 Mei 2011 jam 8:37

Apakah ada pengarang-pengarang berbakat yang karyanya mubazir karena mereka tidak berhasil menemukan penerbit? David Rosenthal, seorang editor senior dari Little Random (imprint Random House) menjawab: "Mungkin ada. Tapi, saya rasa jumlahnya kecil sekali. Sebab, menurut hemat saya, kalau penulis itu memang berbakat, akan ada saja jalan baginya untuk dikenal dan diketahui oleh editor atau penerbit."

Itu petikan wawancara dengan David Rosenthal yang diterjemahkan oleh senior saya dalam dunia editing, mendiang Mula Harahap, dan termuat dalam bukunya Jalan Editor Seorang Mula Harahap. Petikan pertanyaan dan jawaban terakhir ini sungguh menarik bagi saya setelah tuntas menyiapkan presentasi kertas kerja untuk Seminar Editor Malaysia 2011 pada 30 Mei 2011 di Selangor, Malaysia.

David menyiratkan bahwa di dalam dunia penerbit sebenarnya atau seharusnya memang terdapat para editor akuisisi yang andal dengan kemampuan melacak para penulis potensial--baik dalam kategori senior maupun junior. Apa yang paling penting memang 'manusianya' itu sendiri, pengarang atau penulis sebelum turun kepada karya-karyanya.

Dalam sebuah training bertajuk Cara Taktis Menulis Buku yang diselenggarakan beberapa bulan silam di Jakarta, para peserta dan penyelenggara kemudian menyepakati penerbitan antologi proses kreatif, termasuk harapan para peserta sebagai penulis buku. Terus terang, saya dapat menemukan spirit dan bakat-bakat baru dalam dunia penulisan buku yang kelak akan muncul sebagai penulis atau pengarang buku yang berkarakter. Kuncinya satu, fokus, konsisten, dan berkomitmen dalam dunia penulisan itu sendiri, terutama memantapkan diri menguasai penulisan salah satu bidang; tidak dulu menulis segala macam naskah.

Tantangan ke depan yang benar-benar menantang bagi dunia penerbitan buku di Indonesia adalah akuisisi naskah, yaitu menemukan talent-talent baru dalam kepenulisan. Karena itu, para editor akuisisi adalah orang-orang yang harus benar-benar seperti detektif atau intelijen terlatih untuk membaca tren dan membaca manusia (penulis dan pengarang) Indonesia.

Terus terang bagi saya melejitkan penulis yang baru kali pertama menulis dan menerbitkan buku, lebih mengasyikkan daripada memburu para penulis-penulis yang sudah jadi pesohor. Kalaupun saya perlu bertemu seorang penulis senior, paling saya senangi adalah mengajak mereka berdiskusi tentang sebuah proyek penulisan baru. Itulah seninya mengakuisisi naskah. Meskipun makin hari makin banyak orang yang hendak menulis buku, di Indonesia banyak pula kasus bahwa yang terbit adalah naskah-naskah miskin gagasan dan tidak punya daya pikat sama sekali. Hanya 'koar-koar' penulisnya sendiri yang menyatakan buku itu adalah buku luar biasa dan layak baca--semangat self-publishing.

Penulis bertalenta persoalannya ternyata tidak bertemu dengan penerbit atau editor akuisisi yang tepat--tidak berjodoh dalam sebuah kerja sama yang didambakan. Ada naskah yang bagus, di tangan penerbit yang tidak mumpuni benar-benar akan layu sebelum berkembang. Di sisi lain, ada naskah yang tidak bagus, di tangan penerbit berkaliber internasional sekalipun tidak akan mampu berbunyi. Kata para senior, ide adalah panglima. Bagaimanapun memang harus dicari naskah-naskah hasil dari produksi ide cemerlang para penulis bertalenta.

Kebutuhan penerbitan masa mendatang seperti yang pernah saya dengungkan adalah terciptanya 'pasukan' korps editor dalam dua gugus tugas yang andal: 1) ACQUISITION/ACQUIRING; 2) DEVELOPMENT. Keduanya, menjaga aspek sukses penerbitan, yaitu Content, Context, Creativity, dan Community. Para editor ke depan memiliki dua opsi keterampilan: mau mengembangkan kemampuan dalam memburu naskah atau mau mengembangkan kemampuan dalam pengemasan naskah. Dua kekuatan ini sama dibutuhkan untuk melejitkan penerbit menghasilkan portofolio judul yang andal sekaligus sukses di pasar.

Karena itu, jelas dunia penerbitan Indonesia tidak hanya memerlukan penulis/pengarang bertalenta, tetapi juga para editor bertalenta. Ada di mana mereka? Generasi editor yang hidup pada zaman social media kini sedang tumbuh, tetapi jumlah mereka mungkin kecil dibandingkan pertumbuhan jumlah penulis/pengarang sendiri. Namun, tidak mengapa asalkan mereka memang kelak dapat dibina menjadi sebuah 'korps pasukan khusus' yang menguasai banyak medan penerbitan. Mereka harus mampu dicemplungkan dalam lautan gagasan, melayang di atas cakrawala pemikiran, merayap di daratan kreativitas, atau diterjunkan dalam belantara penerbitan internasional. Memang tidak mudah mencari talent-talent seperti ini. Indikator utama dapat dilihat adalah menguasai persoalan pustaka (buku), aktif di social media, dan punya keinginan kuat belajar serta berlatih. Kalau mau menyebutkan nama, talent seperti ini pernah saya temukan pada diri seorang Arul Khan dan Tasaro di Salamadani, Muhibbin di Cicero Publishing (sayang kemudian memilih menjadi PNS di Depag), ada Inas mantan sekretaris saya di MQ Publishing yang kemudian menjadi editor, Di Dixigraf ada tiga talent Yulia, Asmat, dan Mudjib, di TS saya sedang membina beberapa orang kunci.

Tentu akan muncul generasi editor baru yang lebih mampu lagi bersicepat dengan pemelajaran dan adaptasi di dalam dunia penerbitan. Di beberapa penerbit saya mengenal beberapa orang yang memiliki kemampuan andal editorial saat ini. Ada yang andal dalam akuisisi dan ada yang andal dalam development, bahkan ada yang kedua-duanya. Mereka inilah yang kelak diharapkan menjadi semacam David Roshental dari Random ataupun Barry Cuningham, si penemu talent JK Rowling.

***

Dunia editor memang kadang seperti misteri. Tidak banyak orang yang tahu betul seluk-beluk pekerjaannya, kecuali menganggap hanya memperbaiki atau mengoreksi kesalahan bahasa dalam sebuah karya. Padahal, di luar itu banyak sekali harapan kesuksesan penerbitan disampirkan ke pundak seorang editor. Bahkan, fenomena merangkap berbagai tugas penerbitan masih terjadi pada banyak penerbit sehingga membuat editor kehabisan energi untuk berkarya.

Pesan tulisan ini sederhana saja. Para penulis dapat mencintai editornya, terutama para penerbit dapat mencintai dan menjaga editornya untuk eksis berkarya dan menghasilkan buku yang benar-benar bermutu. Sebaliknya, para editor juga hendaknya mampu menciptakan atmosfer penerbitan buku penuh kehangatan, kesalingmengertian, dan juga kreativitas tanpa batas.

Persatuan Editor Malaysia besok mungkin hendak menakar profesionalitas editor di Indonesia, saya akan menjelaskan apa adanya. Boleh jadi mereka pun sedang belajar dari kita meski di sana sudah ada pendidikan formal untuk tenaga editor setaraf S3. Jalan berbagi bagi saya justru jalan untuk menambah pundi-pundi pengalaman dan wawasan. Saya akan mendengarkan para profesor dan penggiat perbukuan senior di Malaysia memaparkan kertas kerja. Saya tetap penasaran Malaysia sudah memiliki buku gaya selingkung resmi negara (house style book) bernama Gaya Dewan dan sampai kini kita tidak punya.

Love your editor.... Semoga editor Indonesia tetap eksis dan berjaya di negeri sendiri.

Bambang Trim

#komporis-buku-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan menyapa