Rabu, 09 Juli 2014

Melepas Anak ke Pondok Tahfidz



hafidz yang berwawasan luas *wish*
Sebenarnya, sih, keinginan untuk menyekolahkan anak ke ponpes (pondok pesantren) sudah jadi mindset kami. Makanya, begitu pendaftaran sebuah ponpes dibuka, kami langsung mendaftar. Unfortunatelly (ah semua ada hikmahnya), anak saya, si Kakak, enggak keterima. Sedih dan kecewa pastilah. Syukurlah, si Kakak sedihnya nggak lama. Kami mencari ponpes lain. Lebih jauh letaknya. Ternyata pendaftarnya tak kalah banyak dengan ponpes pertama. Dan lagi-lagi si Kakak enggak lolos. Semua juga heran. Karena di sekolah dia hampir selalu masuk 10 besar, kayaknya cuma sekali di rank 11.

Ya sudah, kami memutuskan mendaftarkan ke ponpes yang lain (bukan favorit dan belum terkenal :D ) selain ke SMPIT (yang ini favorit dan masuk 10 besar SMP di kota Solo). Akhirnya keduanya diterima, tetapi si Kakak ternyata memilih SMPIT dengan catatan dia tinggal di pondok tahfidz Griya Qur'an, karena SMPIT ini memang tidak ada boarding-nya. Jadi, antara sekolah dan pondok beda yayasan dan beda lokasi. Kondisi ini cukup bikin saya kurang sreg sebenarnya. Tapi, berhubung si Ayah dan si Kakak memutuskan memilih ini, jadilah suara saya kalah.
 
Hari ini si Kakak dengan penuh semangat siap-siap untuk mondok. Sebenarnya sudah terlambat masuk, tapi karena saya kenal ustadz pembinanya, jadi diperbolehkan. Beliau menyarankan agar si Kakak latihan selama 2 hari sebagai masa percobaan. Kalau kerasan ya diteruskan, kalau enggak ya pulang.

Tiba-tiba saja perut saya enggak karuan, dada berdebar. Hati kok merasa berat melepas si Kakak mondok. Saya mengajarinya dulu cara mencuci baju (di sana mmg mencuci sendiri) dengan mulut kering. Dia begitu yakin bakal bisa melakukannya.

Saya tercenung. Banyak hal melintas di pikiran saya. Bagaimana dia besok berangkat sekolahnya? (Rencananya naik sepeda, karena jaraknya mmg tidak terlalu jauh). Bagaimana dia mengurus dirinya? Bagaimana belajarnya? Bagaimana kalau ada tugas dari sekolah, terutama jika membutuhkan materi yang harus dibeli? Bagaimana dia menyiapkan seragam sekolahnya?
Haduuuh, rasanya ingin menahan si Kakak di rumah saja. Tapi, di dalam hati yang jauh di sana berbisik, "Apa bisa kamu membimbingnya menjadi hafidz?" Karena, cita-cita kami dan keinginan si Kakak memang menjadi hafidz (penghafal) Al-Qur'an.
Saya tentu saja tidak sanggup, mengingat kemampuan dan kepahaman keagamaan saya dan suami yang pas-pasan, tentu butuh pembimbing dan milieu yang mendukung keinginan itu.

Sampai saat menulis ini, hati saya masih terasa berat, tetapi semoga Allah Swt. memberikan keikhlasan pada kami semua. Begini, kok, ingin punya anak sehebat Imam Syafii?

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan menyapa