Selasa, 17 Januari 2017

Menurutku, Bukan Menurut Ini Itu

 Kemarin saat antri dokter, saya diajak ngobrol seorang dosen seni. Bercelana jeans dengan ujung digulung, rambut panjang dikuncir. Bicaranya jelas dengan irama lambat. Khas dosen yang sedang menjelaskan sesuatu. Dia datang bersama istrinya. Waktu itu,antrian kami beriringan. Saya dapat antrian tepat setelahnya. Seperti biasa obrolan kami dimulai dengan pertanyaan tentang sakit masing-masing. Berlanjut dengan yang lebih berat yaitu tentang mafia obat, tax amnesti, hingga kebijakan pemerintah tentang bpjs. Kali ini waktu menunggu yang biasanya membosankan jadi tak terasa.

Obrolan yang paling berkesan dan jadi selfreminder adalah tentang dunia pendidikan.
"Mbak tahu tidak menteri paling baik di Indonesia?"
Saya menggeleng.

"Fuad Hasan. Mengapa. Karena beliau membuat kurikulum yang membentuk mahasiswa menjadi pencipta karya. Mahasiswa yang kreatif, bukan mahasiswa yang suka mengutip tokoh ini itu. Sebetulnya inilah yang dibutuhkan Indonesia. Orang yang mengatakan 'menurutku' bukan mereka yang mengatakan 'menurut Socrates, Plato, Aristoteles. Bukan mereka yang mengatakan 'menurut ini dan itu'."

Saya tercenung. Ingat bagaimana dulu saya membuat skripsi. Hampir semua isinya berdasarkan teori ini dan itu. Mungkin karena itulah saya tak berani melanjutkan S2 dan saya tak bangga dengan isi skripsi saya. Not at all.

"Dunia pendidikan kita sekarang sangat rendah kualitasnya karena mereka lebih suka meniru, mengutip," lanjut si bapak. Saya mengangguk-angguk. Lalu tercenung kembali mengingat naskah saya yang mentok. Ide saya sedang buntu sebuntu buntunya. Kreativitas saya sedang drop. Tapi, saya jadi bersemangat karena obrolan dengan bapak dosen tersebut. Tiba-tiba pintu ruang praktik terbuka. Satu pasien keluar. Giliran si bapak dosen itu masuk.

"Maaf, saya duluan, ya, Mbak.Maaf lho karena obrolan saya yang ngalor ngidul. Maaf, ya."

Saya sungguh kagum dengan atitude bapak dosen satu ini. Saya masih ingin mengobrol banyak dengan beliau. Akhirnya giliran saya masuk untuk diperiksa. Bapak dosen itu masih di ruang dokter. Memang unik sih pengaturan pemeriksaan di tempat dokter ini. Untuk mengefisienkan waktu, ada dua orang pasien dalam satu ruangan. Hanya ada sekat tapi semi terbuka yang membatasi pasien satu dan pasien lainnya. Maka, saya dan pak dosen lagi-lagi berada dalam satu ruangan. Setelah selesai menangani pak dosen, dokter pindah meja untuk menangani saya.

"Saya pulang duluan ya. Semoga mbak cepat sehat," pak dosen itu menepuk bahu saya saat hendak pulang. Begitu juga dengan istrinya.

Saya pun menyambut tangannya dan mengucapkan harapan yang sama. Ah, semoga kita bisa bertemu lagi di tempat yang tidak sama, ya, Pak Bu.

Hari itu saya mendapat banyak pelajaran dari sebuah tempat praktik dokter. Sepertinya saya harus mulai tanamkan pada anak-anak untuk berani menciptakan karyanya sendiri. Menjadi dirinya. Menjadi orang yang bisa mengatakan "menurutku" bukan "menurut ini itu".

Salam kreatif
Rien Dj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan menyapa