Sabtu, 19 Mei 2012

Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan


Jangan Sepatuku!

Kalau boleh memilih, silakan curi yang kaumau, tapi jangan sepatuku! Meski sangat kesal dan bingung, tapi aku merasa kasihan sekaligus geli dengan pencuri sepatuku. Dia telah susah payah mencuri, tapi sepatu itu tak akan berguna sama sekali baginya. 

Masih kuingat saat pertama Bapak mengajakku ke toko sepatu di kota. Saat itu aku kelas 6 SD. Sebelumnya aku memang tak pernah memakai alas kaki karena kondisi kakiku. Aku berdebar antara senang dan kikuk. Ini pertama kalinya aku berada di toko khusus sepatu dan memilih sepatuku sendiri!

  Aku sibuk memilih sepatu. Bapak ikut membantu. Beberapa kali aku mencoba sepatu yang kusukai. Tak banyak pilihan untuk kondisi kaki kiriku yang layu. Hanya model sepatu kets bertali yang sesuai untukku. Virus pholio yang menyerang kaki kiriku saat berusia dua tahun, tak hanya membuat ukuran kakiku berbeda dua nomor tapi juga membatasi pilihan sepatuku. Aku hanya bisa memakai sepatu tertutup dan bertali. Awalnya Bapak sedikit yakin bahwa dengan sepatu model bertali, kaki kiriku yang lebih kecil bisa ditoleransi dengan ukuran sepatu kanan. Tapi ternyata kaki kiriku malah tersandung-sandung jika memakai ukuran kaki kanan. Akhirnya mau tak mau, Bapak memutuskan membeli dua pasang sepatu dengan ukuran berbeda. Satu pasang dengan ukuran kaki kanan, satu pasang dengan ukuran kaki kiri. 

Aku tersenyum lebar menatap dua kardus sepatu pertamaku. Terselip sedikit rasa tak nyaman karena Bapak terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk urusan sepatuku. Sejak saat itu, aku harus membeli dua pasang sepatu, dan sayangnya sebelah sepatu dari dua ukuran yang tak terpakai hanya menumpuk di lemari kaca. Aku memakai ukuran 34 untuk kaki kiri dan ukuran 36 untuk kaki kanan (maaf, tepatnya aku lupa ukuran sepatuku waktu itu). Kami mencoba memikirkan bagaimana memanfaatkan sepatu-sepatu baruku yang tak terpakai dengan memberikan kepada orang lain. Kami memikirkan seandainya saja ada seorang anak seusiaku yang memiliki kaki kanan lebih kecil daripada kaki kiri (berkebalikan dengan kakiku). Sayangnya, kami tak bisa menemukannya, sehingga sebelah sepatu-sepatuku tetap tersimpan rapi di lemari.

Sepatu kets itu menjadi satu-satunya alas kakiku, karena aku tak bisa memakai sandal atau sepatu model terbuka. Sepatu kets itu tak hanya untuk sekolah, bahkan untuk menghadiri pernikahan saudara atau kerabat, tamasya, atau ke kota, meski aku sering merasa malu dengan sepatuku. Bayangkan saja. Aku memakai gaun yang bertumpuk-tumpuk di bagian rok, dengan pita yang melingkari pinggang, tapi sepatu yang kukenakan sepatu kets! Tidak cocok, kan.

Agar sepatuku awet, aku sering menenteng sepatu saat berangkat sekolah. Jika sepatuku berlubang di bagian tumit—yang ini sangat sering terjadi, terutama tumit sebelah kiri—aku akan menutupinya dengan lipatan-lipatan kertas yang kutumpuk. Tapi kertas gampang bergeser dan cepat sobek saat beradu dengan jalanan yang kasar berbatu. Maka Bapak akan menambalnya dengan ban bekas. Tentu saja ini tidak nyaman, tapi setidaknya memperpanjang usia sepatuku dan menghemat pengeluaran Bapak. 

Lama-kelamaan, kakakku berpikir untuk mencari pengrajin sepatu, yang bisa membuatkanku sepatu dengan ukuran berbeda, sehingga aku tak perlu membeli dua pasang sepatu sekaligus. Kami kesulitan menemukan pengrajin sepatu, apalagi pengrajin yang bisa membuat sepatu kets, karena peraturan sekolah yang mengharuskan muridnya memakai sepatu kets. 

Saat SMA, barulah aku bisa menemukan pengrajin sepatu yang cocok. Sekolahku membebaskan muridnya memakai sepatu model apa saja—kecuali highheel tentunya. Entah bagaimana urusan sepatu selalu tak mudah bagiku. Begitu menemukan pengrajin yang bisa memenuhi kebutuhanku akan sepatu beda ukuran, tak lama kemudian pengrajin itu pindah dan tak bisa ditemukan jejaknya. Aku selalu mencari info mengenai pengrajin yang lain dan menemukannya menjadi kabar gembira tersendiri bagiku. Tapi dari sekian pengrajin, hampir tak ada yang bisa memenuhi kriteriaku. Entah sol sepatu yang licin, yang berat, ataupun cepat menipis. Bahkan ada yang mengubah ukuran yang aku berikan dengan alasan bentuknya kurang bagus, atau perbedaan ukuran kanan dan kiri terlalu mencolok. Karena tak mau berdebat, biasanya aku mengalah dan membawa sepatuku pulang dengan perasaan dongkol. 

Voila! Akhirnya aku menemukan pengrajin sepatu yang sangat mengerti apa yang kubutuhkan dan lebih senang lagi, dia memiliki kualitas dan model sepatu yang bagus dan cocok untuk kakiku. Harganya lumayan tinggi, tapi sebanding dengan kepuasan yang aku rasakan. Oleh karenanya, aku hanya sanggup memesan satu pasang sepatu.

Nah, sekarang sepatu kesayanganku dan satu-satunya itu dicuri! Dan mengingat kondisi kaki kiriku yang tak bisa memakai sandal dan sepatu lain selain milikku,  aku pulang kantor dengan kaki telanjang alias nyakar (bahasa Jawa kampung)! Sepanjang perjalanan pulang pikiranku selalu tertuju pada pencuri sepatuku, kakiku yang telanjang, dan bagaimana besok pagi aku harus ke kantor! Aku hanya punya satu pasang sepatu yang layak pakai. Aku berharap semoga ada sepatu lamaku yang --belum sempat menghuni tempat sampah-- bisa kupakai lagi. Tak peduli bagaimanapun kondisinya, sebutut apapun, asalkan kaki kiriku yang kecil dan lemas cukup bisa diandalkan untuk menahan sepatu itu tetap di tempatnya. Itu jauh lebih pantas daripada ke kantor tanpa alas kaki.

Pencuri itu sama sekali tak menyadari, kesulitan seperti apa yang telah ia timpakan padaku. Bahkan ia tak menyadari bahwa sepatu yang ia curi beda ukuran! Dan itu tak akan berguna baginya. Seandainya pencuri itu memberi pilihan dan tindakan mencuri dibenarkan—yang ini tak mungkin—aku lebih senang ia mencuri tas, dompet, baju, atau yang lain, tapi jangan sepatuku!

* Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan -- Penerbit Noura dan menjadi salah satu PEMENANG.

4 komentar:

  1. Huaaaa...sediiiih dan terharu baca kisah ini?
    Ini kisahnya mbak Rini, ya?
    Eniwe, semoga menang ya, mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener Mbak Fardelyn, kisah nyata. Wah, padahal pinginnya bikin yg kocak, malah bikin terharu. Sekarang kisah itu jadi kenangan yang lucu bagiku, lho.
      Makasih dah mau baca, ya.

      Hapus
  2. Selamat ya Mbak Rini. Omong2 ngiler liat yang di cangkir tuh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Yas, terima kasih. Padahal isinya cuma teh lho. Tapi memang enak, kok Ginastel kalau orang Solo bilang. Alias: legi (manis), panas, kenthel (kental) :)

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung dan menyapa