2002:Life of Pi karya Yann Martel Telah diterjemahkan: Kisah Pi (Life of Pi)
Penerjemah: Tanti Lesmana
Terbit Desember 2004 oleh Gramedia Pustaka Utama
Waktu melewati jalan raya di depan tobuk Togamas, ada yang menarik. Apalagi kalau bukan "Buku Murah Mei". Baiklah, kesempatan ini tak baik untuk dilewatkan, bukan? Maka sehari kemudian, saya berhasil merayu suami untuk membawa saya ke sana.
Oh ... oh ... oh! Discount hingga 70 % adalah godaan kuat. Akhirnya setelah mengingat budget dan melakukan pertahanan diri, aku berhasil "hanya" membawa buku:
1. A Thousand Splendid Sun yang didiscount 40 %,
2. buku anak tulisan Kang Iwok (Prince Fahri yang bijaksana)
3. Jejak Kala (Aninditya S Thaif)
Nah, aku pikir, pertahananku cukup baik dengan hanya membawa tiga buku. Ternyata pada pertengahan bulan, suami ganti mengajakku ke tobuk yang sama. Tanpa direncana, aku menemukan: 4. Jurnal Perempuan dalam deretan majalah. Artikelnya cocok dengan yang saya butuhkan.
Godaan ternyata tak berhenti. Di akhir Mei, terdengar kabar bahwa ada Pameran Buku Nasional di Assalam Hipermart. Olala! Bagaimana bisa saya melewatkannya begitu saja, terlebih suami justru lebih antusias untuk ke sana. Dan akhirnya inilah hasil pilihan saya setelah menutup mata dari godaan yang lain:
5. "Little Woman" yang harganya jauh lebih murah. Padahal hampir saja aku beli lewat online.
6. Buku seri sesame street "Big Bird's Best Friend" dalam bahasa Inggris (untuk melengkapi koleksi Sesame Street di rumah)
7. buku kreativitas buat si kecil
8. Pohon Sakura (cerita anak, lupa nama penulisnya). Tertarik karena selama ini saya belum memiliki buku bersetting Jepang.
Nah ... nah ... diam-diam, sembari pulang saya masih membayangkan beberapa novel klasik yang harganya jauh di bawah toko. Dan dua hari kemudian, saya 'terpaksa' harus kembali ke sana. Bayangkan! Hasilnya adalah:
9. Pride and Prejudice
10. Mamimoma-nya Rosemary Kesauli.
11. Kabul Beauty School,
11. Khotbah di Atas Bukit (meski sudah menjadi bacaan wajib waktu kuliah, tapi saya ingin punya koleksinya. Dulu sih pinjam sana pinjam sini aja. Maklum mahasiswi berkantong tipis)
Huh ... kayaknya ini harus diakhiri, sebelum uangku benar-benar terkuras habis!
Judul aslinya "Mukhtashar Minhajul Qashidin", Ringkasan Minhajul Qashidin.
Temanya tidak terlalu sulit untuk saya pahami, sehingga proses editing berjalan lancar. Di tengah-tengah proses mengedit, saya sering terhenyak, tersentuh oleh penjelasan Ibnu Qudamah, sang penulis kitab ini. Betapa sebenarnya jalan untuk ke surga itu banyak dan mudah. Tinggal kemauan kita, kuat atau lemah.
Seperti biasa, judul yang eye catching menjadi pertimbangan utama, karena telah banyak penerbit yang juga telah mengeluarkan kitab ini. Meski mungkin penjualannya lambat, tetapi buku seperti ini tergolong dalam buku everlasting, selalu dibutuhkan, pelan tapi berjalan.
Setelah berdiskusi panjang dengan tim redaksi dan 'memaksa' saya mengorek kembali ingatan tentang kalimat yang paling menarik atau menyentuh dari isi kitab ini, akhirnya ketemu dan disepakatilah judul "Agar Orang Biasa Bisa Masuk Surga".
Kebetulan penerbit kami sebelumnya telah memiliki buku dengan judul yang diawali kata "Agar".
FYI: mencari judul yang menarik memiliki tantangan dan seni tersendiri!
Lomba ini terbuka untuk pelajar SLTP (Kategori A), SLTA (Kategori B) dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C) dari seluruh Indonesia atau mereka yang sedang studi/bertugas di luar negeri
Lomba dibuka 21 April 2011 dan ditutup 21 September 2011 (stempel pos)
Tema Cerita: Dunia remaja dan segala aspek serta aneka rona kehidupannya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, kekecewaan, harapan, kegagalan, cita-cita, persahabatan, pengalaman unik, petulangan maupun perjuangan hidup)
Judul bebas, tetapi mengacu pada tema Butir 3
Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu judul. Judul boleh menggunakan bahasa asing
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar dan indah (literer). Bahasa daerah, bahasa prokem, bahasa gaul dan bahasa asing boleh digunakan untuk dialog (bukan narasi)
Naskah yang dilombakan harus asli, bukan jiplakan dan belum pernah dipublikasikan
Ketentuan naskah:
Ditulis di atas kertas ukuran kuarto atau A-4, ditik berjarak spasi 1,5 spasi, huruf 12 font Times New Roman, margin kiri-kanan rata maksimal 3Cm
Panjang naskah 6 (enam) – 10 (sepuluh) halaman, diprint 3 (tiga) rangkap (copy) disertai file dalam CD
Naskah disertai sinopsis, biodata singkat pengarang dan foto dalam pose bebas ukuran postcard. Lampiran lainnya: Fotocopy KTP/SIM atau Kartu Pelajar/Mahasiswa dan Kartu Keluarga (pilih salah satu)
Setiap judul naskah yang dilombakan wajib dilampiri 1 (satu) kemasan LIP ICE jenis atau saja atau segel SELSUN jenis apa saja
Naskah yang dilombakan beserta lampirannya dimasukkan ke dalam amplop tertutup, cantumkan tulisan PESERTA LMCR-2011 sesuai dengan kategorinya pada bagian kanan atas amplop
Naskah dan persyaratan (Butir e) dikirim ke alamat:
Panitia LMCR-2011 ROHTO-MENTHOLATUM GOLDEN AWARD
Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau, Sentul City
Apakah ada pengarang-pengarang berbakat yang karyanya mubazir karena mereka tidak berhasil menemukan penerbit? David Rosenthal, seorang editor senior dari Little Random (imprint Random House) menjawab: "Mungkin ada. Tapi, saya rasa jumlahnya kecil sekali. Sebab, menurut hemat saya, kalau penulis itu memang berbakat, akan ada saja jalan baginya untuk dikenal dan diketahui oleh editor atau penerbit."
Itu petikan wawancara dengan David Rosenthal yang diterjemahkan oleh senior saya dalam dunia editing, mendiang Mula Harahap, dan termuat dalam bukunya Jalan Editor Seorang Mula Harahap. Petikan pertanyaan dan jawaban terakhir ini sungguh menarik bagi saya setelah tuntas menyiapkan presentasi kertas kerja untuk Seminar Editor Malaysia 2011 pada 30 Mei 2011 di Selangor, Malaysia.
David menyiratkan bahwa di dalam dunia penerbit sebenarnya atau seharusnya memang terdapat para editor akuisisi yang andal dengan kemampuan melacak para penulis potensial--baik dalam kategori senior maupun junior. Apa yang paling penting memang 'manusianya' itu sendiri, pengarang atau penulis sebelum turun kepada karya-karyanya.
Dalam sebuah training bertajuk Cara Taktis Menulis Buku yang diselenggarakan beberapa bulan silam di Jakarta, para peserta dan penyelenggara kemudian menyepakati penerbitan antologi proses kreatif, termasuk harapan para peserta sebagai penulis buku. Terus terang, saya dapat menemukan spirit dan bakat-bakat baru dalam dunia penulisan buku yang kelak akan muncul sebagai penulis atau pengarang buku yang berkarakter. Kuncinya satu, fokus, konsisten, dan berkomitmen dalam dunia penulisan itu sendiri, terutama memantapkan diri menguasai penulisan salah satu bidang; tidak dulu menulis segala macam naskah.
Tantangan ke depan yang benar-benar menantang bagi dunia penerbitan buku di Indonesia adalah akuisisi naskah, yaitu menemukan talent-talent baru dalam kepenulisan. Karena itu, para editor akuisisi adalah orang-orang yang harus benar-benar seperti detektif atau intelijen terlatih untuk membaca tren dan membaca manusia (penulis dan pengarang) Indonesia.
Terus terang bagi saya melejitkan penulis yang baru kali pertama menulis dan menerbitkan buku, lebih mengasyikkan daripada memburu para penulis-penulis yang sudah jadi pesohor. Kalaupun saya perlu bertemu seorang penulis senior, paling saya senangi adalah mengajak mereka berdiskusi tentang sebuah proyek penulisan baru. Itulah seninya mengakuisisi naskah. Meskipun makin hari makin banyak orang yang hendak menulis buku, di Indonesia banyak pula kasus bahwa yang terbit adalah naskah-naskah miskin gagasan dan tidak punya daya pikat sama sekali. Hanya 'koar-koar' penulisnya sendiri yang menyatakan buku itu adalah buku luar biasa dan layak baca--semangat self-publishing.
Penulis bertalenta persoalannya ternyata tidak bertemu dengan penerbit atau editor akuisisi yang tepat--tidak berjodoh dalam sebuah kerja sama yang didambakan. Ada naskah yang bagus, di tangan penerbit yang tidak mumpuni benar-benar akan layu sebelum berkembang. Di sisi lain, ada naskah yang tidak bagus, di tangan penerbit berkaliber internasional sekalipun tidak akan mampu berbunyi. Kata para senior, ide adalah panglima. Bagaimanapun memang harus dicari naskah-naskah hasil dari produksi ide cemerlang para penulis bertalenta.
Kebutuhan penerbitan masa mendatang seperti yang pernah saya dengungkan adalah terciptanya 'pasukan' korps editor dalam dua gugus tugas yang andal: 1) ACQUISITION/ACQUIRING; 2) DEVELOPMENT. Keduanya, menjaga aspek sukses penerbitan, yaitu Content, Context, Creativity, dan Community. Para editor ke depan memiliki dua opsi keterampilan: mau mengembangkan kemampuan dalam memburu naskah atau mau mengembangkan kemampuan dalam pengemasan naskah. Dua kekuatan ini sama dibutuhkan untuk melejitkan penerbit menghasilkan portofolio judul yang andal sekaligus sukses di pasar.
Karena itu, jelas dunia penerbitan Indonesia tidak hanya memerlukan penulis/pengarang bertalenta, tetapi juga para editor bertalenta. Ada di mana mereka? Generasi editor yang hidup pada zaman social media kini sedang tumbuh, tetapi jumlah mereka mungkin kecil dibandingkan pertumbuhan jumlah penulis/pengarang sendiri. Namun, tidak mengapa asalkan mereka memang kelak dapat dibina menjadi sebuah 'korps pasukan khusus' yang menguasai banyak medan penerbitan. Mereka harus mampu dicemplungkan dalam lautan gagasan, melayang di atas cakrawala pemikiran, merayap di daratan kreativitas, atau diterjunkan dalam belantara penerbitan internasional. Memang tidak mudah mencari talent-talent seperti ini. Indikator utama dapat dilihat adalah menguasai persoalan pustaka (buku), aktif di social media, dan punya keinginan kuat belajar serta berlatih. Kalau mau menyebutkan nama, talent seperti ini pernah saya temukan pada diri seorang Arul Khan dan Tasaro di Salamadani, Muhibbin di Cicero Publishing (sayang kemudian memilih menjadi PNS di Depag), ada Inas mantan sekretaris saya di MQ Publishing yang kemudian menjadi editor, Di Dixigraf ada tiga talent Yulia, Asmat, dan Mudjib, di TS saya sedang membina beberapa orang kunci.
Tentu akan muncul generasi editor baru yang lebih mampu lagi bersicepat dengan pemelajaran dan adaptasi di dalam dunia penerbitan. Di beberapa penerbit saya mengenal beberapa orang yang memiliki kemampuan andal editorial saat ini. Ada yang andal dalam akuisisi dan ada yang andal dalam development, bahkan ada yang kedua-duanya. Mereka inilah yang kelak diharapkan menjadi semacam David Roshental dari Random ataupun Barry Cuningham, si penemu talent JK Rowling.
***
Dunia editor memang kadang seperti misteri. Tidak banyak orang yang tahu betul seluk-beluk pekerjaannya, kecuali menganggap hanya memperbaiki atau mengoreksi kesalahan bahasa dalam sebuah karya. Padahal, di luar itu banyak sekali harapan kesuksesan penerbitan disampirkan ke pundak seorang editor. Bahkan, fenomena merangkap berbagai tugas penerbitan masih terjadi pada banyak penerbit sehingga membuat editor kehabisan energi untuk berkarya.
Pesan tulisan ini sederhana saja. Para penulis dapat mencintai editornya, terutama para penerbit dapat mencintai dan menjaga editornya untuk eksis berkarya dan menghasilkan buku yang benar-benar bermutu. Sebaliknya, para editor juga hendaknya mampu menciptakan atmosfer penerbitan buku penuh kehangatan, kesalingmengertian, dan juga kreativitas tanpa batas.
Persatuan Editor Malaysia besok mungkin hendak menakar profesionalitas editor di Indonesia, saya akan menjelaskan apa adanya. Boleh jadi mereka pun sedang belajar dari kita meski di sana sudah ada pendidikan formal untuk tenaga editor setaraf S3. Jalan berbagi bagi saya justru jalan untuk menambah pundi-pundi pengalaman dan wawasan. Saya akan mendengarkan para profesor dan penggiat perbukuan senior di Malaysia memaparkan kertas kerja. Saya tetap penasaran Malaysia sudah memiliki buku gaya selingkung resmi negara (house style book) bernama Gaya Dewan dan sampai kini kita tidak punya.
Love your editor.... Semoga editor Indonesia tetap eksis dan berjaya di negeri sendiri.
2007:The Road karya Cormac McCarthy (Alfred A. Knopf Telah diterjemahkan: The Road: Jalan
Penerjemah: Sonya Sondakh
Terbit 2009 oleh PT Gramedia Pustaka Utama
2006:March karya Geraldine Brooks (Viking) Belum diterjemahkan
2005:Gilead karya Marilynne Robinson (Farrar) Belum diterjemahkan
2003:Middlesex karya Jeffrey Eugenides (Farrar) Telah diterjemahkan: Middlesex
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Terbit Juni 2007 oleh Penerbit Serambi
2002:Empire Falls karya Richard Russo (Alfred A. Knopf) Belum diterjemahkan
1939:The Yearling karya Marjorie Kinnan Rawlings (Scribner) Telah diterjemahkan: The Yearling: Jody dan Anak Rusa
Penerjemah: Rosemary Kesauly
Terbit Maret 2011 oleh Gramedia Pustaka Utama
1938:The Late George Apley karya John Phillips Marquand (Little) Belum diterjemahkan
1937:Gone With the Wind karya Margaret Mitchell (Macmillan)
Penerjemah: Tanti Lesmana
Terbit November 2002 oleh Gramedia Pustaka Utama
1936:Honey in the Horn karya Harold L. Davis (Harper) Belum diterjemahkan
1935:Now in November karya Josephine Winslow Johnson (Simon & Schuster) Belum diterjemahkan
1934:Lamb in His Bosom karya Caroline Miller (Harper) Belum diterjemahkan
1933:The Store karya T. S. Stribling (Doubleday) Belum diterjemahkan
1932:The Good Earth karya Pearl S. Buck (John Day) Telah diterjemahkan:
1. The Good Earth (Bumi yang Subur) --> Beda sampul
Penerjemah: Giani Buditjahja
Terbit 2003 oleh PT Gramedia Pustaka Utama
Tantangan seorang editor adalah harus mengetahui kosakata dan istilah dari berbagai disiplin ilmu. Nah kali ini saya ditantang untuk mengetahui istilah-istilah dalam dunia medis. Meskipun tidak banyak --karena ini novel, bukan jurnal kesehatan--tapi saya tetap harus seakurat mungkin menulis istilah yang dipakai dalam novel yang judulnya sangat berbau "medis" ini.
Novel yang sarat dengan kritik sosial yang diramu dengan sedikit kisah romantis antarperawat, juga dokter ini sangat menarik. Mungkin, jika patut disayangkan adalah tampilan covernya. Kurang manis, dan sangat medis!
Terbiasa menyunting buku-buku serius, beberapa kali harus mengernyitkan muka saat membaca naskah yang memakai gaya bahasa remaja dan kosakata gaul ini. Untunglah setiap hari saya bisa berkomunikasi dengan penulisnya 'Deasylawati P' --iyalah, secara dia roomate di tempat kerja.
Dari penulis yang bertampang serius tapi tulisannya ... gokil abis ini, saya yang notabene sudah berumur kadaluwarso dipaksa kembali meremaja dan gaul.
Mengedit buku bergenre remaja gaul ini adalah pengalaman pertama saya. Sebelumnya pernah juga menangani novel, tapi novel serius.
Ketika saya mengedit sambil tertawa terkikik-kikik, penulisnya langsung berkomentar, "Horeee ... aku berhasil membuat editor tertawa."
Artinya, penulis yakin pembacanya tak kalah ngakak dari editornya saat membaca. Yupz, mari kita buktikan bersama, ya!
Maksudnya ...
Adalah pekerjaan saya yang tak lain dan tak bukan bertugas menjaga kata-kata, hingga yang sekecil-kecilnya yaitu huruf dan tanda baca agar tepat di tempatnya, tidak kurang tidak lebih. Efektif dan efisien. Enak dibaca dan mudah dimengerti. Bahkan pekerjaan ini pun menuntut saya turut menentukan apakah font yang cocok untuk buku ini atau buku itu, cover yang keren, hingga tampilan keseluruhan.
Berkutat dengan huruf-huruf, kertas-kertas, layar monitor, rasanya bisa bermacam-macam. Semua pekerjaan memang begitu, ya? Ini yang saya rasakan saat bekerja:
Bosaaaan ...
Kadang-kadang (sst ... kalau bilang sering bisa-bisa aku dibebastugaskan! Wahaha ...), apalagi jika tema naskah sangat tidak menarik minat saya, secara saya sebenarnya menyukai hampir semua genre buku. (O ya? ;) ).
Menyenangkaaaaannn ... saat menemukan naskah yang banyak ilmu atau kocak (novel remaja), tragis yang bikin ati teriris-iris, atau romantis yang bikin ati berdesir dan jatuh cinta pada tokohnya (Walla ...!)
Lebih menyenangkan dan bangga ... saat mengedit tulisan penulis terkenal (memang ada penulis enggak dikenal? Yang bener aja!), penulis idola, juga penulis lain yang akhirnya menambah jumlah teman di FB! (alasan yang sangat narsis).
Sediiii .. hhhh ... merasa bodoh ... ceroboh ....
Saat terjadi kesalahan atau setelah baca ulang buku yang sudah terbit, ternyata "Loh, kok kayak gini? Loh, kok ini begini? Yaelah ... slip of eye!" Apalagi kalau ada penulis marah-marah, protes, entah karena covernya kurang sreg, fontnya kurang besar, kebesaran, terlalu renggang! Ribet euy! Akhirnya diri ini hanya bisa berkata dalam hati: N I P 'Nobody is Perfect' laaahhh! Bukan begitu?
Nah ujung-ujungnya selalu ingat kalimat paling populer tentang editor:
"EDITOR adalah orang pertama yang diingat saat terjadi KESALAHAN, sebaliknya orang yang terakhir diingat saat buku mengalami KESUKSESAN!"
Oh ....
*tapi orang pertama yang dapat duitnya*
Banyak terjadi pemangkasan dari naskah asli, karena beberapa kisah yang ditulis (diterjemahkan) adalah kisah-kisah israiliyyat yang ... agak lebay (wallahu a'lam).
Karena itu, di dalam buku ini diberi kata pengantar oleh Ustadz Muinuddinilah tentang pengetian kisah israiliyyat. Ada sebagian kisah israiliyyat yang mengandung hikmah dan kita diperbolehkan mengambil pelajaran darinya.
Kesulitan yang muncul saat mengedit adalah memutuskan apakah setiap kalimat pembuka dan penutup khotbah dalam setiap tema dicantumkan (karena beberapa pembuka dan penutup khotbah isinya sama) atau tidak.
Akhirnya setelah kesepakatan dengan tim, diputuskan untuk mengelompokkan macam-macam pembuka khotbah pada awal bab dan berbagai penutup khotbah di akhir bab.
Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika menulis Book Review:
1. Tetapkan target pembaca (ini berpengaruh pada gaya bahasa yang akan dipakai)
2. Urutan penulisan : opening, content, closing.
3. Ulasan komprehensif (singkat - padat).
4. Content : Kesimpulan isi buku, analisa isi cerita, jalan cerita, fisik buku, plot cerita, gaya bahasa dipakai, kelebihan dan kekurangan (jika ada) dari buku, memaparkan pendapat tentang isi buku.
Gaya penulisan yang enak dan mengalir membuat saya tak terlalu mengalami kesulitan dalam melakukan penyuntingan, kecuali beberapa bab yang harus dirapikan kembali karena belum urut dan adanya beberapa tambahan dari penulis. Domisili penulis yang di dalam kota, membuat komunikasi berlangsung dengan lancar.
Membacanya mendatangkan ketenangan dan kesejukan, yang sangat terwakili dengan desain covernya.
Naskah pertama yang diberikan untuk saya edit, setelah beberapa tahun menjadi pekerja lepas di beberapa penerbit.
Kesulitan sangat terasa, karena saya harus mencocokkan naskah asli dengan hasil terjemahan. Dengan dipandu seorang Ustadz (yang sekaligus menjadi pimpinan perusahaan), akhirnya saya dapat menyelesaikan pekerjaan ini.
Keuntungan dari seorang editor adalah selain dalam urusan finansial, tentu saja ilmu baru yang sangat mengesankan sungguh sangat membahagiakan!
Berdasarkan pertimbangan ketebalan juga harga, maka kitab ini dicetak dalam 2 jilid.
Itulah kata pertama yang kami ucapkan ketika kegiatan lomba Menulis Cerita Anak (Dongeng) Sarikata.com 2011 telah berakhir pada tanggal 31 Maret 2011 kemaren.
Begitu banyak rahmat dan rejeki serta karunia dari Allah SWT sehingga kegiatan Lomba Menulis Cerita Anak (Dongeng) Sarikata.com 2011 ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Jumlah peserta lomba yang telah berhasil terkumpul di kegiatan ini adalah 153 peserta. Hal ini menunjukkan begitu antusias para peserta untuk dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang sangat bermanfaat untuk generasi masa depan bangsa.
Tidak lupa juga begitu banyak pihak Sponsor yang ikut berpartisipasi sehingga kegiatan ini dapat terwujud dan terlaksana sesuai dengan rencana. Kriteria penilaian yang digunakan oleh Dewan Juri Sarikata.com adalah sebagai berikut :
Pemakaian Bahasa yang sederhana, mudah dimengerti oleh anak-anak usia 3-10 tahun. Tidak memakai gaya bahasa yang njelimet, tidak memakai kata majemuk bertingkat yang sulit, dan pilihan kata-kata (diksi) menarik buat anak-anak.
Tata Bahasa mencakup struktur kalimat, paragraf, EYD (tanda baca, dll) benar.
Penggunaan kosakata yang baik, tidak mengandung kata-kata ‘tabu / jorok’, yang tidak cocok untuk diperdengarkan kepada anak-anak.
Gaya bercerita yang menarik.
Tema sesuai dengan yang diberikan.
Pesan moral: ada manfaat tulisan bagi pembaca terutama hubungannya dengan teknologi tepat guna.
Genre tulisan adalah DONGENG.
Definisi dongeng menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Sebagian besar peserta tidak mencari tahu terlebih dahulu definisi dongeng, jadi kalau cerita biasa, akan sama dengan cerpen anak. Menurut diskusi kami dengan seorang teman, (Peneliti di Balai Bahasa) yang tidak memenuhi unsur dongeng seharusnya gugur. Tema: Teknologi Tepat Guna dan Bermanfaat dalam Kehidupan Sehari-hari.
Sebagian besar peserta tampaknya tidak memahami dan tidak berusaha mengerti terlebih dahulu definisi teknologi tepat guna. Padahal sangat mudah untuk tahu dengan internet. Dari Wikipedia: Teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dari tujuan yang dikehendaki, teknologi tepat guna haruslah menerapkan metode yang hemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif minimalis dibandingkan dengan teknologi arus utama, yang pada umumnya beremisi banyak limbah dan mencemari lingkungan.
Istilah ini biasanya digunakan di dalam dua wilayah: memanfaatkan teknologi paling efektif untuk menjawab kebutuhan daerah pengembangan, dan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan dan ramah sosial di negara maju.
Cerita Dongeng yang masuk kebanyakan hanya seputar teknologi internet, HP dan komputer. Padahal masih banyak teknologi tepat guna dalam keseharian. Kurang kreativitas secara umum.
Banyak yang kurang hati-hati terhadap EYD dan tanda baca, juga kerapian paragraf. (Penulis yang tidak peduli EYD seharusnya gugur, karena tidak menghargai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, apalagi Dewan Juri)
Yap cukup sudah kata pengantar dari kami. Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan untuk : Para Sponsor yang telah membantu dan memberikan dukungan, donasi, serta partisipasinya sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar. Sponsor kegiatan lomba dongeng ini antara lain :
Kompas
Rumah Sakit Kanker Dharmais
Yayasan Pita Kuning Indonesia
Kid Enterprise
Radio Bahana
oPulsaku.com
Munjalindra Software
Kang MatahariTimoer
Eyang Anjari
Mbak Julie
Para Dewan Juri yang telah meluangkan waktunya untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini, yaitu (alphabet order) :
Adhani
Akang Aziz
Anjari
Conan
Dea
Diary25
Julie
MatahariTimoer
PutirenoBaiak
Para teman dan sahabat yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini yang dengan gigih dan tanpa pamrih telah berjuang bersama-sama demi terwujudnya kegiatan ini. Mereka itu antara lain :
Bapak Bramandjojo & Ibu Siwi
Mbak Kumala Iman Dina & Teams
Mas Dwi Prasetyo
Mbak Meiy Desmerry
Kang MatahariTimoer
Dan masih banyak lagi teman, sahabat, rekan dan partner lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu disini.
DAFTAR PEMENANG LOMBA MENULIS CERITA ANAK (DONGENG) SARIKATA.COM 2011 : JUARA 1 : Moringa untuk Dida Panda – Yudith Fabiola (Nomor 60) Hadiah : Piala + Uang tunai Rp 500.000,- + Pulsa Elektrik Rp 150.000,- + Paket Hadiah JUARA 2 : Air untuk Negeri Angin – Nurul Rahmawati (Nomor 73) Hadiah : Piala + Uang tunai Rp 250.000,- + Pulsa Elektrik Rp 100.000,- + Paket Hadiah JUARA 3 : Kotoran Ajaib di Negeri Hijau – Melia (Nomor 67) Hadiah : Piala + Uang tunai Rp 100.000,- + Pulsa Elektrik Rp 50.000,- + Paket Hadiah PAKET HADIAH (JUARA 1 – 3)(masing-masing mendapatkan) :
Buku EKSPEDISI WALISONGO, Menyerap Sejarah Dalam Legenda, Karya MatahariTimoer
Buku INSPIRASI NEGERI, Sumbangan dari Anjari
Buku GERHANA COKLAT, Karya Yuliasih Puji Rahayu Hardy
JUARA HARAPAN 1 : Biji Penjernih Ajaib Bawang Putih – Cicik (Nomor 94) JUARA HARAPAN 2 : Ladang Kecil dibawah Awan – Jumialely (Nomor 131) JUARA HARAPAN 3 : Laptop Khusus untuk Rhena – Saptorini (Nomor 28) Hadiah Juara Harapan : Masing-masing mendapatkan uang tunai sebesar Rp 50.000,- + Buku POTRET KONSTITUSI PASCA AMANDEMEN UUD 1945, Karya A.M. Fatwa
SELAMAT kepada para pemenang lomba Menulis Cerita Anak (Dongeng) Sarikata.com 2011 diatas. Mohon untuk melakukan konfirmasi ke alamat email admin@sarikata.com untuk info lebih lanjut, dan untuk para peserta yang kurang beruntung kali ini, jangan putus asa, tidak perlu patah arang. Tetap semangat dan teruslah menulis untuk kemajuan dan kebaikan bersama.
Sampai jumpa lagi dilain waktu dan kesempatan. Terima kasih atas partisipasi dan perhatiannya selama berlangsungnya lomba ini. Tetap STAY TUNE di Sarikata.com, Kumpulan Intisari Cerita Terbesar di Indonesia.
Deadline: 5 Mei 2011 (cap pos atau diantar langsung)
DKJT Adakan Sayembara Penulisan Novel
Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) akan mengadakan Sayembara Penulisan Novel 2011. Sayembara ini merupakan program Komite Sastra DKJT tahun ini dan diharapkan bisa menjadi rangsangan bagi kreativitas pengarang Jawa Tengah dalam penulisan novel.
Syarat-syarat: 1. Peserta adalah warga negara Indonesia yang tinggal di Jateng dan dibuktikan dengan foto kopi KTP. 2. Naskah belum pernah dipublikasikan dan tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa. 3. Naskah agar ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik. 4. Karya asli, bukan saduran, bukan pula jiplakan. 5. Panjang naskah minimal 100 halaman kuarto, 1,5 spasi, times new roman 12 pt. 6. Tema bebas. 7. Peserta menyertakan biodata dan alamat lengkap dalam lembar tersendiri, di luar naskah. 8. Empat salinan naskah yang diketik dan dijilid dikirim kepada Panitia Sayembara Menulis Novel DKJT 2011, PKJT, Kompleks Puri Maerakaca, Tawang Mas, Semarang.
Batas akhir pengiriman naskah 5 Mei 2011 (cap pos atau diantar langsung).
HADIAH:
Pemenang I : Rp 7,5 juta Pemenang II : Rp 5 juta Pemenang III: Rp 2,5 juta
Sedangkan untuk tiga pemenang harapan masing-masing mendapatkan Rp 1,5 juta.
Dewan juri: 1. Yudiono KS 2. Triyanto Triwikromo 3. S Prasetyo Utomo
Salam PaBers, Paul Jennings selalu bilang, "The biggest sin a children's author can commit is to be boring." Nah, sebagai pembaca (bukan penulis), tulisan seperti apa yang membuat teman-teman bete?
Tethy Ezokanzo yang bilingual tapi Inggrisnya sangat susah dimengerti. Niatan belajar malah tersesat, hihihi... (sekalian nodong Bunda Peri buat ngajarin atau gimana kalau kita mulai kupas ajah ^-^)
Ernita Dietj karakter anak digambarkan tidak seperti anak2: terlalu sopan, terlalu penurut, terlalu cepat sadar kalo ditegur. Pokoknya yang too cutesy. Juga nggak suka dengan nama2 seperti cici kelinci, berber beruang, kiki kijang, lala landak, mutmut marmot, .... Senang dengan penulis yang memilih nama yang unik & berkarakter untuk tokohnya.
Nia Haryanto saat tokoh ibu atau tokoh orang dewasa bercerita atau jelasin sesuatu dengan sangat panjang lebar ... jadinya, itu buku anak atau buku orang dewasa ya? hmmmm :D
Rini Nurul Badariah Yang dimulai dengan, "Hari ini cerah, matahari bersinar terang, burung-burung berkicau riang." Lebih suka yang langsung 'action' atau dialog.
Tethy Ezokanzo nah saya juga suka yang gituh Rin termasuk ketika menulis. tapi ada beberapa penerbit yang minta revisi, depannya dikasih narasi gituan, hahaha... mau gimana lagi nurut ajah deh
Eugenia Gina yang endingnya udah bisa ditebak *waduh sulit juga nulisnya ya heeeheee
Erna Fitrini kbiasaan buku dijadiin ajang buat blajar put myself in the writer's shoes sih though ocasionally they're smelly. hihihihihi
Ary Nilandari Tethy, penulis punya power. Penerbit kadang nggak tahu benar apa yang mereka minta. hahaha. Lebih baik, dengar apa kata pembaca :)
Rini Nurul Badariah Gitu ya, Tethy? Ini saya lagi ngedit buku anak-anak. Semua 'Adik-adik' di permulaan alinea saya buang.
Tethy Ezokanzo Ih komenku banyak kata yang ambigu (jadi inget kisah bahasa dua sahabat di buku 365). hehe, tapi pada ngerti kan maksudku? sebenernya lebih suka nulis yang langsung dialog, tapi redaktur/editor suka minta revisi nambahin narasi ^-^
Ary Nilandari Kang Benny, aku setuju. Sudah normatif eh maksa pula...
Ary Nilandari Aku sendiri paling bete dengan kalimat-kalimat yang terdiri atas 15-an kata, padahal bisa diungkapkan dengan 5-6 kata tanpa mengubah makna. :)
Tethy Ezokanzo hahaha, tapi gak semua editor bisa diajak ngobrol. hiy, capek kalau bantah2. jadi saya revisi dikit deh. walau kadang tulisanku jadi berubah :D tapi yah banyak juga editor yang segaya, sevisi, seide, pokoknya kompak
Erna Fitrini aku adalah gembala sapi dengan topi terbuat dari jerami kering yang dijalin dengan rapi sekali (15 kata)
Tethy Ezokanzo hahaha, kok kebalik sih Rin. editorku minta depannya tambah adik-adik, itu hasil diskusi tadinya Anak-anakku Sayang :D. kalau di majalah ganti jadi teman-teman, hihi.. sama ajah kan? (jelas bukan Rini, belum pernah di-editori Rini sih.. kapan dong? ^-^)
Ary Nilandari Aku penggembala sapi bertopi anyaman jerami (6 kata) :) *thanks Erna buat contohnya.
Rini Nurul Badariah Saya belajar dari redaktur majalah anak tempat kerja dulu, Tethy. Lebih suka pakai 'Teman-teman' daripada 'Adik-adik' atau 'Anak-anakku'. Itu juga hasil ujicoba keponakan yang waktu kecilnya rada jutek. Ada siaran TV anak yang pake pembukaan 'Adik-adikku', reaksinya: 1. "Ih, kamu siapa? Kenal juga nggak." 2. Tidur di depan TV 3. Ditinggal main
Chitra Savitri yang kebanyakan kata gaulnya, singkatan ala sms, juga kebanyakan kata-kata sumpah serapahnya (maaf ... tapi bener lho tulisan yg kayak gini justru dari anak usia 10 th sampe SMA kok malah demen bacanya.
Esti A Budihabsari betul-betul, anak nggak suka digurui, jadi Adik-adik dan Anak-anakku walau ditambah 'sayang' is out of the question.
Rini Nurul Badariah Betul Mbak, apalagi zaman sekarang ada kewaspadaan terhadap orang asing. Saya mengorelasikan dengan itu juga, sih.
Imran 'Logonk' Laha temanya yang biasa aja. klise, dan buku yang hanya mengandalkan utak-atik kata, biar dianggap kreatif.
Aminah Mustari kl utk fiksi.. yang udah ketebak ceritanya abis begini pasti begitu. yg bahasanya menggurui, yg menganggap anak itu nggak tau apa2. misalnya, "eh, itu apa ayah?" "oh itu mobil nak." "Mobil rodanya empat ya?" "iya, nak. Kalau rodanya 3 namanya bemooo." *%^%$% stress dah yg baca. seru itu nggak mesti cerita tentang hal-hal besar. tp menceritakan hal kecil dengn cara yang berbeda juga menyenangkan
Ary Nilandari Hahaha Santi, makasih. Aku ingat ungkapan seorang penulis terkenal: "Maaf saya nulis panjang-panjang, karena nggak ada waktu nulis pendek." :)
Ina Inong tapi di Indonesia yg nb berbudaya timur memang bacaan anak "dipagerin" (siap2 dimarahin para editor) sm aura kesantunan, si tokoh pd umumnya digambarkan nyaris sempurna dan selalu jd panutan. *mohon petunjuk*
Rini Nurul Badariah Santun jelas harus, Teh Ina, tapi yang realistis. Mungkin karena pemahaman masyarakat kita masih dijejali pameo cerita anak = dongeng, jadi masih terarah ke soal 'kesempurnaan' itu.
Aminah Mustari mbak ina, mungkin harus diliat tema dan jenis tulisannya juga ya. kl utk yg non fiksi (sejarah, akhlaq, dll) ya anak2 harus jelas nangkep pesannya (pasti yang baik2 dan sempurna lah hehe). sisi lemah boleh aja kok ditunjukkan, toh nabi muhammad saja punya kelemahan. spy anak jg tahu bahwa kelemahan harus dikenali, diterima, dan diperbaiki. Everybody made mistakes
juga perlu liat segmentasi.Anak yg lebih kecil harus sangat jelas diberi pesannya, beda dengan anak yg udah usia 8 ke atas, harus banyak bumbu2nya. kasih cabe dikit boleh utk nambah selera hehe (kl aku batasan bumbunya adalah akidah).
Ary Nilandari Ina: karakter terlalu sempurna jadi nggak manusiawi. Malah pembaca sulit mengidentifikasikan dirinya dengan si tokoh. :)
Ina Inong,,, iya ya teh Rini,, tp pengen ada tokoh yg unik2 kyk si Gregory di diary bocah tengil, cuek, 'tiis' dan teraniaya... hihi
Rini Nurul Badariah Iya Teh Ina, Greg itu potret realistis. Saya sendiri merasa terwakili olehnya, sebagai anak tengah:)
Eva Y. Nukman nggak suka tulisan/cerita yang tokoh protagonisnya dibikin culun bin bodoh banget melebihi common sense. tapi ujug-ujug di akhir cerita dia beruntung begitu saja dan lives happily ever after. halah
Ina Inong saking bosennya sm cerita tipe2 character building, anakku (laki2) pernah komen: "ah itu kan cuma ada di cerita aja, Ma." jeddeerr... gmana tuh pemirsa?
Amalia Husna wah, makin ke sini makin banyak perubahan ya.... tapi yang namanya selera gak bisa digeneralisir. Misal ada anak yang suka to the point, ada juga yang suka detail. Anak saya (3 th) kalau melihat gambar, yang diincar apa yang digambar itu, bukan isi ceritanya. Misal ada 'aksesoris' matahari, ya dia nanya itu apa, dsb, padahal isi ceritanya tentang gajah dan induknya. Akhirnya, si bunda ngarang cerita sendiri, tentang matahari, burung, rumput, hewan2, dan semua yang ada di gambar itu. Dan gaya berceritanya kayak contoh Mbak Rinur, matahari bersinar terang dst. Eh, dia bertahan lho, anteng ngedengerin... Kecuali usia remaja, mungkin gak cocok dibegitukan. Udah tau matahari itu apa dan gitu2 aja... hehe
Beby Haryanti Dewi yg karakternya nggak menganak-anak ... ataw terlalu "sempurna", terlalu "tua" buat ukuran anak2... cape dweeehhh
Ika Maya Susanti baru saja semalam saya nonton diary of wimpy kids. benar Mbak Rini, Mbak Ina, film itu realistis banget. bahkan di alurnya meski ada sosok ibu yg menasehati anaknya secara eksplisit, si penulis tdk kemudian membuat si Greg langsung menuruti kata2 ibunya. ada alur yg membuat si anak benar2 belajar ttg konsekuensi perbuatannya sendiri. pantas deh kalau versi bukunya jadi best seller. begitu juga model cerita di film sabrina & beechus. (oot: film ini juga ttg si anak tengah lho) :)
Rini Nurul Badariah Mbak Amalia Husna: Ya, lain ladang lain belalang. Bukan berarti matahari tidak boleh seratus persen tampil di awal kalimat/cerita sih, tapi perlu ada alasan jelas untuk menghadirkannya di situ. Misalnya, biasanya di lokasi tersebut hujan sering turun dan matahari jarang muncul. Maka matahari bersinar terang menjadi peristiwa yang perlu diceritakan. CMIIW.
Ary Nilandari Barangkali yang dimaksud Rini tidak melulu matahari dkk: tapi paragraf-paragraf awal yang tidak relevan dan terkesan tempelan saja jadinya. Jika 1-2 halaman pertama tulisan bisa dibuang tanpa ada yang kehilangan, tandanya memang tidak perlu. Jika kita ingin membidik pembaca yang "enggan" (reluctant readers) maka paragraf awal yang menarik, menghunjam, melibatkan, sangat-sangat perlu.:)
Rini Nurul Badariah Terima kasih atas penjelasannya, Mbak Ai. Kalau saya suka berpikir iseng, bila diceritakan si anak dalam kisah itu buka jendela pas bangun pagi (misalnya) dan disusul 'matahari bersinar cerah', berarti dia bangun siang banget, dong. Hehehe...
Sofie Dewayani Diskusi yg bernas :) Penasaran, gimana teman2 mendefinisikan "klise"? Gimana "klise" ini dilihat dari perbedaan kelas (miskin vs kaya) seperti tema yg banyak diusung akhir-akhir ini? Misalnya, sifat yang bijaksana, dewasa, jujur, baik, biasanya identik dng kemiskinan, sebaliknya untuk yang kaya. Ini bukan pertanyaan retorik, butuh pencerahan beneran :)
Rini Nurul Badariah Mbak Sofie, menurut saya itu stereotipe yang perlu diubah/disesuaikan. Ketika Cinderella menikah dengan Pangeran, misalnya, terlepas dari sifat Sang Pangeran yang baik, saya sempat berpikir iseng, "Cinderella menikahi Pangeran untuk memperbaiki nasib.":)
Benny Rhamdani kalo dalam konteks anak bangun pagi, saya juga suka bingung tuh. soalnya di Indonesia kan 'pagi' nya beda dengan pagi di negara lain. belum ada tuntutan shalat subuh sebelum waktunya habis.
Rini Nurul Badariah Jangan-jangan kalau saya menulis, "Hari hampir pagi, ternyata masih gelap. Aku tidur lagi." dilempar tomat busuk sama pembaca ya?:D
Ary Nilandari Hai Sofie...Klise menurutku adalah gagasan yang overused, terlalu sering diulang dan digunakan sampai kehilangan powernya dan tidak menarik lagi. Klise perwatakan tokoh miskin vs kaya jadi stereotipe. Penulis nggak bisa lagi melihat kemungkinan lain: bahwa si miskin bisa juga sangat bodoh, sombong, dan sering sial. Hahaha, ada nggak ya tokoh seperti ini? Dan sebaliknya si kaya bisa baik hati dan tampan. Bahkan bisa saja dia kaya tapi kaya dalam ukuran relatif dirinya sendiri. *Eh apa ini yang dimaksud Sofie?
Aminah Mustari klise itu yang udah ketebak aja krn stereotipe, baik di tokoh, atau pun penceritaan. kakak mengayomi, adek egois. Atau, bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Gitu urutannya, gak berubah2 hihi. Kalo aku bangun tidur kutidur lagi tuh *tos sm rini hihi*
Sofie Dewayani Mbak Ary Nilandari, sama saya juga nanya "ada nggak ya tokoh seperti ini?" -> di cerita anak ;)
Benny Rhamdani Mimin: wkwkwkwk... ya begitu deh. dulu ada rumor gini:"duh anak-anak sekarang bukunya soleh2 amat. ntar gedenya baca apaan ya?" ... ya udah, saya pake pola asuh yang nggak terlalu steril aja buat anak. baca buku soleh, ya oke. baca spongebob sama ben 10 , silakan.
Sofie Dewayani Rini, hehe...dongeng memang terbuka thd interpretasi :) Saya cuma mikir jangan2 ada pakem di bacaan anak yg abadi. Misalnya di genre fantasy, kalo hero/in itu hampir selalu the chosen one & punya musuh abadi. Begitu juga si miskin yang baik dan bijak, ada dari jaman HC Andersen sampai era modern. Seems like we dont mind a character being too perfect as long as he's/she's poor :) Tapi mungkin ga juga, buktinya mbak Ary Nilandari langsung protes :p
Benny Rhamdani Mbak Sofie: kita bisa lihat Upin dan Ipin, mengapa disuka anak-anak Indonesia. Karena karakternya nggak seratus persen sempurna.
Ina Inong jujur saya mulai terkontaminasi sm buku2nya Jacqueline Wilson, apalg 'Lola Rose' itu buku anak kan, tp ada kalimat: '... mulai terdengar desahan dan ranjang mereka pun berderit' nah lhoooo... jd bertanya2 dlm hati, kalau anak sy baca, imajinasi dy ttng kalimat itu apa ya?
Ary Nilandari '... mulai terdengar desahan dan ranjang mereka pun berderit' hihihi, memangnya kenapa dengan kalimat itu? Hayo... orangtua sendirilah yang berpikir dalam kotak kecil. hahaha, siapa tahu ada anak-anak yang diam-diam makan es krim di atas ranjang tua, padahal ibu mereka sudah cerewet melarang mereka makan di kasur. *Aku belum baca Lola Rose. jadi sebetulnya apa tuh?
Erlina Ayu Teh Rini Nurul Badariah : nambah ilmu nih, jadi anak2 suka dipanggil temen2 aja ya. mb Aminah Mustari : haha...aku pernah bikin cerita gitu waktu tentang perpustakaan. Aku jelasiin perpustakaan adalah bla bla, lsg di bilangin sama editornya
Erlina Ayu mb Ary Nilandari : soal ranjang berderit. Iya, kayaknya kita para orang tua terlalu khawatir. bhai Benny Rhamdani : tokoh yg tidak seratus prsen sempurna. anak2 yg jail dan iseng sebaiknya dibuat untuk anak usia berapa tahun keatas? kayaknya memang seri character building kebanyakan tokohnya emang sopan bgt
Ina Inong Ary Nilandari di awal2 paragraf-nya udh jelas diceritain di kamar itu ada ibunya dan pacarnya, Jake... menurut sy sih, penerbit juga hrs hati2, nggak semua bacaan luar cocok utk diterjemahkan dan dikonsumsi anak2 di sini, salah gak pendapat sprti ini..
Ary Nilandari Ina: nah kalau gitu jelas penerbit kurang cermat menyunting. Penerjemahan seharusnya juga didampingi alihbudaya. Kalau yang menjurus seperti itu nggak ada relevansinya dengan cerita, trus buat anak pula, editor berhak menyensor.
Benny Rhamdani ya.... mestinya jangan dilolosin tuh. pa lagi sama pacarnya... ^_^
Rini Nurul Badariah Teh Ina, ini yang namanya lain ladang lain belalang. Lain penerbit lain kebijakannya. Menurut saya, buku Jackie Wilson memang bukan untuk anak-anak, melainkan tentang anak-anak. Jadi diganti labelnya saja, walaupun tidak menutup kemungkinan anak-anak (pra remaja) tetap membacanya.
Ina Inong Nah itu dia, pas anak2 nanya, Mah ini buku anak2, langsung aja tak jawab bukan... hihihi... adalg yg judulnya Suitcase Kid, si anak nyebut bpk tirinya 'si Babon', jyaahaha,,, meskipun menikmati kelugasan JW dlm bercerita da ketagihan, tp kalo dikonsumsi anak2ku keberatan juga sih... dilema ya, nyari cerita yg gak klise tapi belum tentu aman buat anak... :)
Dewi 'Ichen' Cendika mba ary : hihihiii..... pada dasarnya untuk cerita anak...aq jarang bete baca ceritaa model apa ajaaa..... karena aq selalu mengambil sisi positif, kelebihan, "apayginginpenulissampaikan" dalam cerita itu.... tapi klo mencoba mengingat2 ttg kebetean (hallah :D)... rasa sukaku untuk suatu cerita itu berbeda2...... misalnya gini.... ketika aq masih kecil n blum jadi bunda..... aq merasa senang membaca serial novel anak yg ditulis pengarang terkenal...... ceritanya menurutku bagussss sekali.... tapi sekarang... ketika aq baca lagi... aq jadi aneh.... kok aq bisa ngefans yaa dengan novel ini dulu.... misalnya, ada kata2 yg agak kasar di dalam novel itu menurut ukuran aq ... tapi ya itu... rasa suka hari ini belum tentu sama dengan besok..... jadi ceritanya tetap kubaca dan selalu menikmati ajaa.... :D
Ary Nilandari hihihi, apa yang Ichen rasakan, aku alami juga. ceritanya aku lagi menyunting karya penulis lokal yang duluuuu waktu aku kecil sukaa banget. Lha kok sekarang bahasanya begini... lha kok kasar... banyak deh lha kok-nya. hahaha, jelas karena aku pakai kacamata yang berbeda.
Rini Nurul Badariah Teh Ina: aku lebih menyoroti ke budaya atau pemikiran masyarakat soal 'menabukan' anak-anak berbicara mengenai status orangtua mereka yang single mother atau father sih. Ya single mother saja, karena kita lagi bicara JW. Mungkin seperti satu contoh cerpen Bobo di suatu tahun (aku tidak ingat lagi) tentang orangtua yang sarjana tapi menjadi petani di desa dan anaknya tidak malu karena itu, saya kira zaman sekarang tidak perlu ragu lagi menceritakan 'Namaku Harry. Orangtuaku sudah berpisah.' CMIIW
Ina Inong tp sebenernya dari lubuk hati yg paling dlm aku suka bgt JW, lg nyari judul2 yg lebih aman dan ringan utk anak2ku, walopun skrng mrk msh fanatik KKPK... :) lanjuuttt...
Dian Kristiani hmm...yang gimana ya? yg paragraf2 awalnya ndak bisa langsung "menusuk"? setuju ama pendapat Rini, aku lbh suka yg langsung dialog. Aku pribadi sering memulai suatu cerita dng "Krompyang...." ato "Glodak..gubrak duer.." :) haha, tp mungkin juga buat orang lain tulisanku itu boring :p
Ary Nilandari DK: Gluduk gluduk jgerrrr...Aaaaa.... tolong. Wah menarik itu bagiku. Dibandingkan "Pagi itu, ayam berkokok membangunkan keluarga petani yang masih lelap dalam mimpi mereka..." ampuuun, ngantuk deh, kayak naik delman.
Nelfi Syafrina Nah.. yang kayak begitu aku juga ngantuk Bun... setuju sama Mbak Dian Kristiani. Bete juga kalau baca cerita yang gak sesuai antara isi dan judul, soalnya pernah baca yang kayak gitu. satu lagi Bun, aku pernah baca beberapa Teenlit terjemahan, ya ampuun.. kayaknya terjemahan word by word deh Bun, kelihatan sekali banyak kalimatnya yang berbunyi seperti ini "maksudku" dan "kamu tahu kan" itu di ulang-ulang di setiap akhir kalimat. Aku berpikir pasti di novel aslinya banyak juga tulisan I mean dan You know-nya, tapi apakah harus di terjemahkan semuanya, jadi males ngelanjutin bacanya :)
Ali Muakhir Full Hmmm, nimbrung ah ... bacaan yg bikin bete, yang abis dibaca nggak ada bekas-bekasnya sama sekali. Istilahnya, yang kagak ada gaungnya sama sekali. Ngabis-ngabisin waktu, hehe
Dian Kristiani Aha, setuju ama Nelfi. Pernah baca buku terjemahan yang malah bikin sakit perut :( karena jujur, saya gak tau arah ceritanya mo kemana...alhasil, baru satu halaman udah disudahi :( maksud hati pengen gampang dengan membaca versi Indonesianya, tapi yang ada malah lebih ribet memahaminya :)
Ary Nilandari Nelfi Syafrina dan Dian Kristiani : seperti penulis, komunitas penerjemah juga beragam kualitas, yang ditentukan oleh keterampilan dan jam terbang. Ada penerjemah matang. Ada juga penerjemah yang masih struggling, tertatih-tatih. Tapi seperti penulis, penerjemah juga berproses dan berkembang. Baik penulis maupun penerjemah, attitude yang baik menangani kritik sangat perlu demi peningkatan kualitas karya. Karena pembaca selalu menuntut kesempurnaan. Ya kan? Tak ada yang salah dengan itu.:) Trims untuk masukannya tentang penerjemahan.
Nelfi Syafrina Bener banget Bunda Ary, itulah sebabnya aku pengen belajar penerjemahan yang baik dan benar, agar isi tulisan dari bahasa sumber dapat dituangkan kedalam Bahasa Indonesia, tanpa mengurangi maknanya. Sehingga hasil terjemahan bisa diterima pembaca. Oh ya Bun.., jadi gak PBA mengadakan workshop penerjemahan?
Asri Andarini ngacung *belum ngerti*: apa awal yang menarik seperti itu berlaku utk semua jenis cerita? kl utk cerita rakyat gmn? apa tiba2 "ting! klenting kuning menyentuhkan tongkatnya.."
Ary Nilandari Asri Andarini: Bisa saja, dengan kreativitasnya penulis bisa memulai dongeng/legenda dari mana saja. Dari pertarungan dulu, lalu melalui dialog bisa terbuka sebab-musabab pertarungan itu... dst.
Aira Kim untuk pict book yg illustrasinya ga nyambung. Misalnya disettingan waktu yang sama ternyata baju si tokoh beda(warna/motif) dari baju yg dia pakai di halaman sebelumnya. Trus utk billingual ternyata si illustrator bikin gambar she/perempuan padahal dalam teks tokohnya he/laki-laki. ini complain dari putriku ( 9 th) lho! :)