Senin, 14 Maret 2011

Tiga Temanku yang Ceria



Heidi
Di antara ketiga gadis cilik itu, maka yang aku kenal pertama kali adalah Heidi. Bahkan aku mengenal nama Heidi, jauh sebelumnya, berpuluh tahun yang lalu, saat aku masih kecil. Karena Heidilah aku lebih menyukai gunung daripada pantai. Mawar gunung, sayur mayur, rumputnya yang subur, semuanya menciptakan sensasi luar biasa dalam otak bawah sadarku.
Dari Heidi, aku suka berkhayal bahwa suatu hari nanti akan ada keajaiban untukku seperti yang diberikan Tuhan kepada sahabatnya.
Sara, a Little Princess
Gadis kedua setelah Heidi, yang aku kenal. Sebagaimana Sara selalu menemukan kebahagiaan dalam hidupnya yang “dianggap” menyedihkan, sesungguhnya aku telah selalu berusaha menemukannya juga. Dulu (dan hingga kini). Dulu, ketika semua teman SMP ku berlari keluar dengan seragam olahraganya, maka aku hanya duduk diam di sudut kelas. “Sesuatu” yang menimpaku membuatku tak bisa melakukan gerakan seperti teman-temanku. Sedih? Hmmm … rasa takut dan kesepian yang aku rasakan. Takut karena nilai olahragaku merah dan tidak disapa guruku dengan ramah.
Meski begitu aku mendapatkan kegembiraanku, sebab saat-saat itulah aku bisa melakukan sesuatu yang membuat temanku membelaku di depan Pak Guru. Membantu PR akuntansi mereka.
Tak berat, sih, sebab sebenarnya aku hanya membuat kolom-kolom di buku-buku mereka dengan penggaris. Atau menjaga tas mereka yang kadang berisi uang, dan tak mungkin membawanya di lapangan. Apa yang lebih membuatku senang selain mendapatkan kepercayaan dan keakraban mereka?
Sara dapat menemukan kejutan-kejutan menyenangkan dari kamarnya yang sempit, panas, dan kosong, serta banyak tikus, aku ternyata juga menemukan dari kekurangan yang aku miliki.
Pollyanna
Hei … permainan sukacita Pollyanna adalah permainanku juga. Aku memilikinya sejak dulu. Hanya saja mungkin namanya yang berbeda. Permainannya sama dengan apa yang telah menjadi moto hidupku selama ini “Menemukan Hikmah dalam setiap Langkah”.
Pollyanna mengatakan pada Bibi Snow, bukankah sekarang ia justru punya waktu lebih banyak dengan melakukan hal berguna dengan tangannya? Siapa tahu justru pekerjaan tangan Bibi Snow bisa membantu sesama lebih banyak dan lebih baik, dibandingkan jika ia tidak sakit. Inilah hikmah yang harus diambil dari sebuah musibah.
Tentu saja,Tuan Pendleton harus gembira karena hanya kakinya yang patah, dan sebentara lagi bisa berjalan, daripada tak punya kaki sama sekali, bukan? Bahkan dengan itulah ia bisa mengenal Pollyanna yang ternyata putri dari …. sssttt … ini rahasia!
Seandainya sejak kecil aku tak punya permainan “sukacita”, aku pasti tak tahu untuk apa aku masih mempertahankan hidupku. Sebab sekadar bernapas itu bukanlah hidup. Benar, kan, Pollyanna. Makanya aku “dengan segala keterbatasanku” tentu saja ingin benar-benar hidup.
Baiklah Pollyanna, aku senang karena kita punya permainan yang sama. Sayang aku mengenalmu baru sekarang, setelah aku tua. Hm ... bersukacitalah karena aku akan mengajarkan permainan mencari hikmah untuk anak-anakku. Tentu itu!
Oh … Heidi, Sara, Pollyanna, bagaimana kalau kapan-kapan kita kopdar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan menyapa