Sabtu, 20 Oktober 2012

Manusia dan Aktivitas Berpikir

Allah Ta'ala memerintahkan untuk berpikir dan merenungkan secara mendalam tentang kitab-Nya yang agung. Allah menyanjung orang-orang yang mau berpikir. Allah Ta'ala berfirman, “Orang-orang yang mengingat Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, ‘Wahai Rabb kami, tidaklah engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia.’”
Ibnu Abbas ra. berkata, “Sesungguhnya suatu kaum berpikir tentang Allah Azza wa Jalla, lantas Rasulullah saw. bersabda, ‘Hendaklah kalian berpikir tentang makhluk ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang Allah, sebab kalian tidak mampu menggapai Kedudukan-Nya.’”
"Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berakal.’ Rasul bersabda, ‘Celakalah orang yang membacanya tetapi tidak mau berpikir tentangnya.’”
Dari Al-Hasan, dia berkata, “Berpikir sesaat itu lebih baik daripada shalat sepanjang malam.”
Dari Al-Fudhail, dia berkata, “Berpikir adalah cermin yang akan memerlihatkan kepadamu kebaikanmu dan keburukanmu.”
Ditanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa kamu banyak berpikir?” Dia menjawab, “Berpikir adalah sumsum ibadah.”
Sufyan bin Uyainah adalah ulama yang banyak diterima ucapannya. Dia berkata, “Apabila seseorang mempunyai pikiran yang terasah maka dalam segala hal dia pasti dapat mengambil pelajaran.”
Dari Thawus, dia berkata, “Kaum Hawariyun berkata kepada Isa bin Maryam, ‘Wahai Ruhullah, apakah ada orang yang setara dengan engkau di muka bumi ini sekarang?’ Isa menjawab, ‘Ya. Orang yang dalam omongannya ada zikir, dalam diamnya ada berpikir, dan dalam pandangannya ada pelajaran, maka dia itu setara denganku.’”
Al-Hasan berkata, “Barangsiapa ucapannya bukan hikmah maka itu pastilah sia-sia. Siapa saja yang keluhannya itu bukan berpikir maka itu pastilah kelalaian. Barangsiapa pandangannya tidak memiliki pelajaran maka itu pasti kesia-siaan.” Adapun tentang firman Allah, “Aku (Allah) akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang bersikap sombong di muka bumi tanpa kebenaran”, dia menjelaskan, “Aku (Allah) akan mencegah hati mereka dari berpikir tentang urusan-Ku.”
Dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Berikanlah kepada matamu hak untuk beribadah.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak ibadahnya?” Rasul menjawab, “Melihat mushaf, berpikir tentang isinya, dan mengambil pelajaran dan keajaibannya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya, dan sebagian jalan periwayatannya adalah Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam kitab Al-‘Uzhmah dengan sanad yang dhaif.)
Luqman al-Hakim sering duduk sendirian dalam waktu yang lama. Majikannya datang kepadanya lantas berkata, “Luqman, kamu terlalu lama duduk sendirian. Andaikata kau mau duduk bersama orang lain niscaya itu lebih menyenangkan untukmu.” Luqman menjawab, “Sesungguhnya lamanya bersendiri itu lebih memahamkan pikiran, sedang panjangnya pikiran itu menjadi penunjuk jalan menuju surga.”
Wahb bin Munabbih berkata, “Tidaklah seseorang berpikir dalam waktu yang lama kecuali dia akan memahami dan seseorang tidak memahami sesuatu sama sekali kecuali dia pasti mengamalkannya.”
Umar bin Abdul Aziz berujar, “Berpikir tentang nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla itu termasuk ibadah yang paling utama.”
Dari Ibnu Abbas, “Dua rakaat yang sengaja diarahkan untuk berpikir itu lebih baik daripada mengerjakan shalat semalam suntuk tetapi tanpa menghadirkan hati.”
Abu Sulaiman bertutur, “Biasakanlah mata kalian untuk menangis dan biasakan hati kalian untuk berpikir.”
Abu Sulaiman berkata, “Berpikir tentang dunia menghalangi akhirat dan menjadi siksaan bagi para pemegang kekuasaan. Sedangkan berpikir tentang akhirat mewariskan hikmah dan menghidupkan hati.”
Hatim berujar, “Dari mengambil pelajaran bertambahlah ilmu, dari zikir bertambahlah cinta, dan dari berpikir bertambahlah rasa takut kepada Allah.”
Ibnu Abbas berkata, “Berpikir tentang kebaikan mendorong orang untuk mengamalkannya. Adapun menyesali keburukan akan mendorong orang untuk meninggalkannya.”
Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya orang yang berakal senantiasa membiasakan diri berzikir saat berpikir dan berpikir saat berzikir, sehingga mereka dapat menyuruh hati mereka berbicara, lantas hati itu berbicara dengan hikmah.”
Junaid bertutur, “Majelis termulia dan tertinggi adalah duduk sembari berpikir di lapangan tauhid, bernapas dengan napas makrifat, minum dengan gelas cita dari lautan kasih sayang, memandang dengan sangka baik kepada Allah Azza wa Jalla.” Kemudian dia berkata, “Aduhai majelis ini alangkah mulianya, minuman ini alangkah lezatnya. Betapa bahagianya orang yang diberi anugerah itu.”
Asy-Syafi’i juga berkata, “Keshahihan pandangan terhadap semua urusan membuahkan keselamatan dari ketertipuan. Keteguhan berpendapat merupakan penyelamat dari tindakan melampaui batas dan penyesalan. Merenung dan berpikir akan menyingkapkan tekad. Kecerdasan dan bermusyawarah dengan para bijak bestari itu akan meneguhkan jiwa dan menguatkan daya pandang. Oleh karena itu, berpikirlah sebelum kamu bertekad. Merenunglah sebelum kamu menyerang. Bermusyawarahlah sebelum kamu melangkah maju.”
Asy-Syafi’i juga bertutur, “Fadhilah itu ada empat macam. Yang pertama hikmah, penyangganya adalah berpikir. Yang kedua adalah keperwiraan diri, penopangnya berada pada syahwat. Yang ketiga adalah kekuatan, penyangganya terletak pada kemarahan. Keempat adalah keadilan, penopangnya terdapat pada pelurusan kekuatan jiwa. Inilah qaul ulama tentang berpikir dan tiada seorang pun dari mereka yang menjelaskan hakikat dan jalannya.” (Terjemah Kitab Tafakkur, oleh Irwan Raihan)