Jangan Sepatuku!
Kalau
boleh memilih, silakan curi yang kaumau, tapi jangan sepatuku! Meski sangat
kesal dan bingung, tapi aku merasa kasihan sekaligus geli dengan pencuri
sepatuku. Dia telah susah payah mencuri, tapi sepatu itu tak akan berguna sama
sekali baginya.
Masih kuingat
saat pertama Bapak mengajakku ke toko sepatu di kota. Saat itu aku kelas 6 SD. Sebelumnya aku
memang tak pernah memakai alas kaki karena kondisi kakiku. Aku berdebar antara
senang dan kikuk. Ini pertama kalinya aku berada di toko khusus sepatu dan
memilih sepatuku sendiri!
Aku sibuk memilih sepatu. Bapak ikut membantu.
Beberapa kali aku mencoba sepatu yang kusukai. Tak banyak pilihan untuk kondisi
kaki kiriku yang layu. Hanya model sepatu kets bertali yang sesuai untukku. Virus
pholio yang menyerang kaki kiriku saat berusia dua tahun, tak hanya membuat ukuran
kakiku berbeda dua nomor tapi juga membatasi pilihan sepatuku. Aku hanya bisa
memakai sepatu tertutup dan bertali. Awalnya Bapak sedikit yakin bahwa dengan sepatu
model bertali, kaki kiriku yang lebih kecil bisa ditoleransi dengan ukuran
sepatu kanan. Tapi ternyata kaki kiriku malah tersandung-sandung jika memakai
ukuran kaki kanan. Akhirnya mau tak mau, Bapak memutuskan membeli dua pasang
sepatu dengan ukuran berbeda. Satu pasang dengan ukuran kaki kanan, satu pasang
dengan ukuran kaki kiri.
Aku tersenyum
lebar menatap dua kardus sepatu pertamaku. Terselip sedikit rasa tak nyaman
karena Bapak terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk urusan sepatuku. Sejak
saat itu, aku harus membeli dua pasang sepatu, dan sayangnya sebelah sepatu
dari dua ukuran yang tak terpakai hanya menumpuk di lemari kaca. Aku memakai
ukuran 34 untuk kaki kiri dan ukuran 36 untuk kaki kanan (maaf, tepatnya aku
lupa ukuran sepatuku waktu itu). Kami mencoba memikirkan bagaimana memanfaatkan
sepatu-sepatu baruku yang tak terpakai dengan memberikan kepada orang lain. Kami
memikirkan seandainya saja ada seorang anak seusiaku yang memiliki kaki kanan
lebih kecil daripada kaki kiri (berkebalikan dengan kakiku). Sayangnya, kami
tak bisa menemukannya, sehingga sebelah sepatu-sepatuku tetap tersimpan rapi di
lemari.
Sepatu kets
itu menjadi satu-satunya alas kakiku, karena aku tak bisa memakai sandal atau
sepatu model terbuka. Sepatu kets itu tak hanya untuk sekolah, bahkan untuk menghadiri
pernikahan saudara atau kerabat, tamasya, atau ke kota, meski aku sering merasa malu dengan
sepatuku. Bayangkan saja. Aku memakai gaun yang bertumpuk-tumpuk di bagian rok,
dengan pita yang melingkari pinggang, tapi sepatu yang kukenakan sepatu kets!
Tidak cocok, kan.
Agar sepatuku
awet, aku sering menenteng sepatu saat berangkat sekolah. Jika sepatuku
berlubang di bagian tumit—yang ini sangat sering terjadi, terutama tumit
sebelah kiri—aku akan menutupinya dengan lipatan-lipatan kertas yang kutumpuk.
Tapi kertas gampang bergeser dan cepat sobek saat beradu dengan jalanan yang
kasar berbatu. Maka Bapak akan menambalnya dengan ban bekas. Tentu saja ini
tidak nyaman, tapi setidaknya memperpanjang usia sepatuku dan menghemat
pengeluaran Bapak.
Lama-kelamaan,
kakakku berpikir untuk mencari pengrajin sepatu, yang bisa membuatkanku sepatu
dengan ukuran berbeda, sehingga aku tak perlu membeli dua pasang sepatu
sekaligus. Kami kesulitan menemukan pengrajin sepatu, apalagi pengrajin yang
bisa membuat sepatu kets, karena peraturan sekolah yang mengharuskan muridnya
memakai sepatu kets.
Saat SMA,
barulah aku bisa menemukan pengrajin sepatu yang cocok. Sekolahku membebaskan
muridnya memakai sepatu model apa saja—kecuali highheel tentunya. Entah bagaimana urusan sepatu selalu tak mudah
bagiku. Begitu menemukan pengrajin yang bisa memenuhi kebutuhanku akan sepatu
beda ukuran, tak lama kemudian pengrajin itu pindah dan tak bisa ditemukan
jejaknya. Aku selalu mencari info mengenai pengrajin yang lain dan menemukannya
menjadi kabar gembira tersendiri bagiku. Tapi dari sekian pengrajin, hampir tak
ada yang bisa memenuhi kriteriaku. Entah sol sepatu yang licin, yang berat, ataupun
cepat menipis. Bahkan ada yang mengubah ukuran yang aku berikan dengan alasan
bentuknya kurang bagus, atau perbedaan ukuran kanan dan kiri terlalu mencolok.
Karena tak mau berdebat, biasanya aku mengalah dan membawa sepatuku pulang
dengan perasaan dongkol.
Voila! Akhirnya aku menemukan pengrajin
sepatu yang sangat mengerti apa yang kubutuhkan dan lebih senang lagi, dia
memiliki kualitas dan model sepatu yang bagus dan cocok untuk kakiku. Harganya
lumayan tinggi, tapi sebanding dengan kepuasan yang aku rasakan. Oleh
karenanya, aku hanya sanggup memesan satu pasang sepatu.
Nah, sekarang
sepatu kesayanganku dan satu-satunya itu dicuri! Dan mengingat kondisi kaki
kiriku yang tak bisa memakai sandal dan sepatu lain selain milikku, aku
pulang kantor dengan kaki telanjang alias nyakar
(bahasa Jawa kampung)! Sepanjang perjalanan pulang pikiranku selalu tertuju
pada pencuri sepatuku, kakiku yang telanjang, dan bagaimana besok pagi aku
harus ke kantor! Aku hanya punya satu pasang sepatu yang layak pakai. Aku
berharap semoga ada sepatu lamaku yang --belum sempat menghuni tempat sampah--
bisa kupakai lagi. Tak peduli bagaimanapun kondisinya, sebutut apapun, asalkan
kaki kiriku yang kecil dan lemas cukup bisa diandalkan untuk menahan sepatu itu
tetap di tempatnya. Itu jauh lebih pantas daripada ke kantor tanpa alas kaki.
Pencuri itu
sama sekali tak menyadari, kesulitan seperti apa yang telah ia timpakan padaku.
Bahkan ia tak menyadari bahwa sepatu yang ia curi beda ukuran! Dan itu tak akan
berguna baginya. Seandainya pencuri itu memberi pilihan dan tindakan mencuri
dibenarkan—yang ini tak mungkin—aku lebih senang ia mencuri tas, dompet, baju,
atau yang lain, tapi jangan sepatuku!
* Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan -- Penerbit Noura dan menjadi salah satu PEMENANG.
Huaaaa...sediiiih dan terharu baca kisah ini?
BalasHapusIni kisahnya mbak Rini, ya?
Eniwe, semoga menang ya, mbak :)
bener Mbak Fardelyn, kisah nyata. Wah, padahal pinginnya bikin yg kocak, malah bikin terharu. Sekarang kisah itu jadi kenangan yang lucu bagiku, lho.
HapusMakasih dah mau baca, ya.
Selamat ya Mbak Rini. Omong2 ngiler liat yang di cangkir tuh :D
BalasHapusMbak Yas, terima kasih. Padahal isinya cuma teh lho. Tapi memang enak, kok Ginastel kalau orang Solo bilang. Alias: legi (manis), panas, kenthel (kental) :)
Hapus